PENDAHULUAN
Reproduksi
adalah suatu proses kehidupan manusia dalam menghasilkan keturunan demi
kelestarian hidup, dalam proses reproduksi tersebut manusia terus mengalami
perubahan dalam perkembangan dan pertumbuhan reproduksi mulai dari masa dalam kandungan
hingga mengalami masa klimaksterium, dalam proses perubahan yang berkelanjutan
tersebut seringkali menimbulkan permasalahan yang diakibatkan oleh banyak
faktor, salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan reproduksi adalah
faktor psikososial.
Faktor
psikososial merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang baik secara
psikologis maupun sosial, masalah-masalah kesehatan reproduksi dilihat dari
aspek psikososial pada saat fase prenatal (dalam kandungan), fase postnatal,
masa remaja dan fase klimakterium/menopause.
Pada
fase prenatal biasanya masalah yang sering ditemukan adalah kecemasan pada saat
kehamilan dan saat akan melahirkan. Untuk mencegah hal tersebut terjadi, maka
dukungan sosial untuk ibu hamil sangatlah penting. Menurut Suryaningsih (2007),
dukungan sosial ini banyak diperoleh individu dari lingkungan sekitar, dalam
hal ini lingkungan yang terdekat adalah pasangan atau suami. Sudah selayaknya
pasangan memberikan semangat dan perhatian kepada istri.Dengan begitu, istri
bisa kuat secara mental untuk menghadapi segala hal di masa kehamilannya.
Kecemasan
juga terjadi pada wanita pasca melahirkan, biasanya calon ibu tersebut akan
merasa depresi atau lebih sering dikenal dengan Depresi Pasca Melahirkan (DPM).
Crockenberg dan Leekers (2003) mengemukakan bahwa sekitar 10-30% ibu setelah
melahirkan mengalami kondisi depresi. 70% diantara para ibu yang baru
melahirkan mengalami gangguan psikologis selama kurang lebih 12 bulan atau 1
tahun dengan rentang episode antara 4 minggu hingga 6 bulan. Dr. dr. Irawati
Ismail SpKj, MEpid dari bagian psikiatri UI melaporkan bahwa 25% dari 580
pasiennya (ibu melahirkan) mengalami BBS. Dr. Irawati mengemukakan gejala BBS
dialami oleh sekitar 50-75% ibu melahirkan atau 2/3 dari jumlah ibu melahirkan
di seluruh dunia (Atmadibrata, 2005).
Permasalahan
kesehatan reproduksi terhadap masa remaja banyak dijumpai pada berbagai kasus,
seperti perilaku seks bebas, merokok, penyalahgunaan NAPZA, kehamilan diluar
nikah, dan sebagainya.Hal tersebut biasanya karena faktor teman sebaya maupun
keluarga.Seperti dikutip dari Jurnal KB Nasional Vol 244 tahun 2000: 1-8
menyebutkan bahwa terjadi peningkatan jumlah remaja yang melakukan seks pra
nikah di beberapa kota besar di Indonesia sebanyak 20%, 2,4 juta per tahunnya
(700-800 ribu) remaja di Jawa Barat melakukan aborsi, 50% penderita HIV/AIDS
adalah remaja usia 15-19 tahun, dan menurut data dari BPS bahwa sebanyak 2.736
remaja yang mengkonsumsi narkoba.
Menurut
siklus kehidupan manusia normal, setiap orang yang berusia panjang akan
mengalami proses mulai dari bayi, masa kanak-kanak, remaja, dewasa dan tua.
Kehidupan wanita juga mengalami proses perkembangan tersebut, termasuk
fase-fase yang berkaitan dengan fungsi organ reproduksi wanita. Hal ini berarti
semakin meningkatnya jumlah manusia tua, termasuk wanita yang telah memasuki
usia menopause (Kasdu, 2002).
Menurut
data Departemen Kesehatan (Depkes) perempuan Indonesia yang memasuki menopause
sebesar 7,4% dari populasi pada tahun 2000. Jumlah tersebut diperkirakan
meningkat menjadi 11% pada tahun 2005 dan akan naik lagi sebesar 14% atau
sekitar 30 juta orang pada tahun 2015. Peningkatan populasi perempuan menopause
pada umumnya akan disertai berbagai tingkat dan jenis permasalahan yang
kompleks yang berdampak pada peningkatan masalah kesehatan perempuan menopause
tersebut (Swasono, 2005).
BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Faktor Psikososial
1.
Pengertian
Faktor
Psikososial
Psikososial
adalah menyangkut aktivitas atau masalah sosial yang timbul sehubungan dengan
faktor psikologis atau proses mental, Sedangkan Faktor psikososial merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi
seseorang baik secara psikologis maupun sosial (Franz, 1997; Helson, 1997 dalam
Papilia, et al, 2008).
2.
Adaptasi Psikososial
Adaptasi
psikososial adalah cara individu untuk menyesuaikan status mental dan
emosionalnya terhadap perubahan-perubahan yang terjadi didalam lingkungan sosialnya.
Individu merupakan
makhluk biopsikososial sebagai satu kesatuan utuh yang memiliki mekanisme
koping baik bersifat positif maupun negatif untuk beradaptasi terhadap
perubahan lingkungan. Kemampuan beradaptasi seseorang dipengaruhi oleh tiga
komponen yaitu penyebab utama terjadinya perubahan, kondisi dan situasi yang ada
serta keyakinan dan pengalaman beradaptasi.
Adaptasi
psikososial melibatkan cara seseorang menyesuaikan diri secara emosional dan
mental sebagai self sistem,
sebagai individu dan
hubungannya dengan orang lain, serta
pada masyarakat umumnya. Model Roy menunjukkan manusia sebagai mahluk
biopsikososial dan menjelaskan teori adaptasinya kedalam empat model. Tiga diantaranya yaitu self concept mode, interdependence mode, role mode, yang dikaitkan dengan cara seseorang
beradaptasi secara psikososial. Model
self concept mencakup konsep diri
dan integritas ego. Model
interdependence berarti bagaimana
seseorang beradaptasi dengan orang lain. Model peran mengarah kepada bagaimana
seseorang beradaptasi terhadap perubahan-perubahan peran yang bervariasi yang
harus ditunjukkannya untuk mempertahankan keseimbangan dalam dirinya, keluarga
dan masyarakat. Sejumlah studi mengatakan bahwa perkembangan psikososial
menimbulkan dua kemungkinan yang terjadi yaitu kestabilan atau perubahan
(Franz, 1997; Helson, 1997 dalam Papilia, et al, 2008).
3.
Perkembangan
Psikososial Individu
a.
Keluarga
Lingkungan
yang terdekat, yang paling awal dan yang terlama dialami seseorang adalah
lingkungan keluarga. Keluarga adalah salah satu mata rantai kehidupan yang paling
esensial dalam sejarah perjalanan hidup manusia. Keluarga sebagai pranata
sosial pertama dan utama, mempunyai arti paling strategis dalam mengisi dan
membekali nilai-nilai kehidupan yang dibutuhkan oleh anak yang sedang mencari
makna kehidupannya. Dengan kata lain, pranata keluarga adalah titik awal
keberangkatan, sekaligus sebagai modal awal perjalanan hidup anak yang kemudian
dilengkapi dengan rambu-rambu perjalanan yang digariskan pranata sosial lainnya
di lingkungan pergaulan sehari-hari. Keluarga yang hubungan antar anggotanya
tidak harmonis, penuh konflik dapat memicu timbulnya berbagai masalah kesehatan
mental bagi anak (Baihaqi,
2005).
Pengalaman-pengalaman yang dilalui anak
ketika kecil, termasuk perilaku orang tua dan sikap mereka terhadap anak
mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan anak nantinya. Karena kepribadian
terbentuk dari pengalaman sejak kecil,
terutama pada tahun-tahun pertama kehidupan anak. Pengalaman itu termasuk
pendidikan, perlakuan orang tua, sikap orang tua terhadap anak atau sikap orang
tua satu sama lain (ayah dan ibu).Pengalaman-pengalaman
pada tahun-tahun pertama itulah yang menentukan kesehatan mental seseorang,
bahagia atau tidaknya di kemudian hari
(Baihaqi, 2005).
b.
Lingkungan
Pergaulan
Individu
pada umumnya banyak menghabiskan waktunya untuk melakukan kontak sosial dengan
orang lain dalam hal ini bertujuan untuk mencapai kepuasannya dalam
berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Dalam kehidupan sehari-hari, kontak
sosial paling sering individu tersebut lakukan dengan lingkungan yang paling
dekat dengannya dan yang paling sering ia temui, yaitu lingkungan tempat
dirinya bergaul dengan individu lain terutama yang sebaya dengan dirinya dengan
alasan, memiliki tujuan dan latar belakang yang serupa. Contohnya, setiap hari
seseorang akan melakukan aktivitas-aktivitas umum seperti sekolah dan bekerja
yang membuatnya berada pada suatu lingkungan tertentu dan berakhir pada
aktivitasnya bergaul dengan individu-individu dalam lingkungan tersebut, dalam
hal ini teman sekolah dan rekan kerja(Feldman, 2003).
c.
Pasangan
Hidup
Salah
satu tugas perkembangan dewasa adalah membentuk suatu komitmen dengan pasangan
hidup atau membina rumah tangga. Pasangan hidup mempunyai pengaruh yang cukup
signifikan dalam perkembangan psikososial. Kematian pasangan hidup
adalah penyebab stress (stressor) yang paling utama. Banyak terjadi kasus
pasangan suami istri yang setelah ditinggal pasangan oleh kematian atau
perceraian mengalami stress dan berpengaruh terhadap kehidupan sosial mereka.
Konflik
dengan pasangan hidup juga dapat menimbulkan berbagai gangguan seksual seperti
disfungsi seksual.Seseorang
yang mengalami disfungsi seksual dapat ditangani dengan terapi pasangan karena
seringkali menyertai kehidupan perkawinan yang buruk atau masalah dengan
pasangannya. Oleh karena itu dibutuhkan terapi yang juga melibatkan
keterampilan komunikasi non-seksual bagi masing-masing pasangan(Feldman, 2003).
B.
Kesehatan
Reproduksi
1.
Pengertian Kesehatan Reproduksi
Reproduksi adalah suatu proses kehidupan manusia dalam
menghasilkan keturunan demi kelestarian hidup , Kesehatan reproduksi adalah
keadaan sehat jasmani, rohani dan bukan hanya terlepas dari ketidakhadiran
penyakit atau kecacatan semata, yang berhubungan dengan sistem, fungsi dan
proses reproduksi (ICPD, 1994).
Kesehatan reproduksi menurut Depkes (2004) dalam
(Imelda, 2004) adalah keadaan kesejahteraan fisik, mental, dan sosial yang utuh
(tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan) dalam segala hal yang
berkaitan dengan sistem reproduksi dan fungsi serta prosesnya.
2. Pelayanan
Kesehatan Reproduksi
Sesuai
dengan rekomendasi strategi regional WHO untuk negara-negaraanggota di Asia
Tenggara, dua paket pelayanan kesehatan reproduksi telahdirumuskan antara lain :
a.
Paket Kesehatan Reproduksi Esensial :
1)
Kesejahteraan Ibu dan Bayi
2)
Keluarga Berencana
3)
Pencegahan dan penanganan ISR/PMS/HIV
4)
Kesehatah Reproduksi Remaja
b.
Paket Kesehatan Reproduksi Komprehensip :
5)
Pencegahan dan penanganan masalah usia lanjut, selain
paketesensial diatas.
(Harahap,
2003).
3. Masalah-masalah
dalam Kesehatan Reproduksi
Isu-isu yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi
kadang merupakan isu yang pelik dan sensitif, seperti hak-hak reproduksi,
kesehatan seksual, penyakit menular seksual (PMS) termasuk HIV/AIDS, kebutuhan
khusus remaja, dan perluasan jangkauan pelayanan kelapisan masyarakat kurang manpu
atau meraka yang tersisih.
Menurut
program kerja WHO ke IX (1996-2001), masalah kesehatan reproduksi ditinjau dari
pendekatan siklus kehidupan keluarga, meliputi :
a. Praktek
tradisional yang berakibat buruk semasa anak-anak (seperti mutilasi, genital,
deskriminasi nilai anak, dsb)
b. Masalah
kesehatan reproduksi remaja (kemungkinan besar dimulai sejak masa kanak-kanak
yang seringkali muncul dalam bentuk kehamilan remaja, kekerasan/pelecehan
seksual dan tindakan seksual yang tidak aman)
c. Tidak
terpenuhinya kebutuhan ber-KB, biasanya terkait dengan isu aborsi tidak aman
d. Mortalitas
dan morbiditas ibu dan anak (sebagai kesatuan) selama kehamilan, persalian dan
masa nifas, yang diikuti dengan malnutrisi, anemia, berat bayi lahir rendah
e. Infeksi
saluran reproduksi, yang berkaitan dengan penyakit menular seksual
f. Kemandulan,
yang berkaitan erat dengan infeksi saluran reproduksi dan penyakit menular
seksual
g. Sindrom
pre dan post menopause dan peningkatan resiko kanker organ reproduksi
h. Kekurangan
hormon yang menyebabkan osteoporosis dan masalah ketuaan lainnya.
(Harahap,
2003)
BAB
III
PEMBAHASAN
A.
Adaptasi Psikososial dalam Tahapan Kehidupan Reproduksi
Manusia
1.
Masa
Prenatal
Kehamilan
adalah suatu krisis
maturitas yang dapat menimbulkan stress,tetapi berharga karena
wanita tersebut menyiapkan
diri untuk memberikan
perawatan
danmengemban
tanggungjawab
yang lebih besar (Bobak, Lowdermilk,
& Jensen, 2005).
Kehamilan merupakan tantangan perkembangan
yang harus dihadapi seluruh
keluarga, dari pasangan suami-istri hingga anggota keluarga
yang lain. Masa kehamilan banyak disertaitekanan dan ancaman, khususnya bagi
calon ibu, seperti perubahan citra tubuh, perubahanhormonal, bahkan
ketidaknyamanan di berbagai aspek fisiologis dan psikologis. Oleh karenaitu, seluruh anggota
keluarga
harus dapat beradaptasi terhadap kehamilan
ini danmenginterpretasikannya berdasarkan
kebutuhan masing-masing (Bobak, Lowdermilk, & Jensen, 2005).
Adaptasi dalam kehamilan dilakukan oleh seorang wanita
dengan tahapan sebagai berikut :
a.
Trisemester I
1)
Ketidakyakinan/ketidakpastian
Pada awal minggu
kehamilan, wanita akan
merasa tidak yakin dengankehamilannya dan berusaha untuk mengkonfirmasikan
kehamilan tersebut. Hal inidisebabkan karena tanda-tanda fisik akan
kehamilannya tidak begitu jelas atau sedikit berubah.Pada
trimester I, biasanya wanita hamilmencari konfirmasi lebih lanjut ke dokter
kandungan, bidan bersertifikat, atau perawatterlatih.
2)
Ambivalen
Ambivalen
didefinisikan sebagai konflik perasaan yang simultan, seperti cintadan benci
terhadap seseorang, sesuatu, atau keadaan (Bobak, Lowdermilk, &
Jensen,2005).
Setiap
wanita hamil memiliki sedikit rasa ambivalen dalam dirinya selamamasa
kehamilan. Ambivalen merupakan respon normal individu ketika akanmemasuki suatu
peran baru. Beberapa wanita merasa bahwa ini tidak nyata dan bukanlah saat
yang tepat untuk hamil, walaupun ini telah direncanakan atau diidamkan.
Wanita
yang sudah merencanakan kehamilan sering berpikir bahwa iamembutuhkan waktu
yang lama untuk menerima kehamilan dan ia akan merasakhawatir dengan
bertambahnya tanggung jawab dan perasaan akanketidakmampuannya untuk menjadi
orang tua yang baik. Ia takut jika kehamilan iniakan mempengaruhi hubungannya
dengan orang lain.
3)
Fokus pada diri sendiri
Pada
awal kehamilan, pusat pikiran ibu berfokus pada dirinya sendiri,
bukan pada janin. Ibu merasa bahwa janin merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari diri ibu. Selain itu, calon ibu juga mulai berkeinginan untuk
menghentikan rutinitasnyayang penuh tuntutan sosial dan tekanan agar dapat
menikmati waktu kosong tanpa beban. Banyak waktu yang dihabiskan untuk
tidur. Perubahan fisik dan meningkatkanhormon akan menyebabkan emosi menjadi
labil. Perubahan hormonal merupakan bagian dari respon ibu terhadap
kehamilan. Perubahan hormon inidapat menjadi penyebab perubahanmood, hampir
sama seperti saat wanita mestruasi ataumenopause.Mood ibu hamil akan mudah
sekali berubah-ubah. Perubahan iniseringkali membuat ibu dan orang-orang di sekitarnya
menjadi bingung.
4)
Perubahan seksual
Selama trimester I, seringkali keinginan seksual wanita
menurun. Ketakutan akan
keguguran menjadi penyebab pasangan menghindari aktivitas seksual.
Apalagi jika wanita tersebut sebelumnya pernah mengalami keguguran.
b.
Trisemester II
Pada trimester II, mulai terlihat tanda-tanda
perubahan
fisik yang jelas,sehingga
dirasakan keberadaan janin, Hal tersebutmembuat calon ibu menerima bahwa janin
merupakan bagian terpisah dari dirinyameskipun si janin tetap saja
bergantung pada dirinya. Pada
tahap ini, janin sudah
menjadi fokus
utama dari si ibu. Ibu
mulaimemperhatikan kesehatan dari janin.
Ibu
menjadi tertarik akan informasi tentang dietdan perkembangan fetal. Pada tahap
ini, beberapa wanita
akan menjadi
lebih narsis dan introvertterhadap
dirinya
sendiri.
Ia sadar akan kemampuannya
untuk melindungi danmenyediakan kebutuhan bagi janin. Ia lebih selektif
akan makanan dan baju yangingin dipakai. Beberapa wanita juga akan kehilangan
ketertarikan akan pekerjaan.Beberapa
wanita akan menjadi begitu berlebihan jika mengalami kejadian, karena iatakut jika kejadian tersebut akan berdampak buruk
dan membahayakan janin. Pada trimester II, perubahan bentuk tubuh terjadi
begitu cepat dan terlihat jelas.
Wanitamerasa seluruh
tubuhnya bertambah besar dan menyita ruang yang
lebih luas.Perubahan-perubahan ini akan diterima dan dianggap
sebagai suatu kebanggaan bagi pasangan suami dan istri.Akan tetapi, sikap
ini dapat berubah-ubah seiring dengan perkembangan kehamilan. Pada awal
kehamilan, citra tubuh terlihat positif, namunseiring perkembangan kehamilan
pencitraan terhadap tubuhnya akan berubah menjadilebih negatif. Perasaan ini
hanya bersifat sementara dan tidak akan mempengaruhi persepsi tentang diri
mereka secara permanen.
Pada
trimester II, terjadi peningkatan sensitifitas dari lebia dan klitoris,
serta peningkatan lumbrikasi vaginal sebagai hasil dari vasokongesti
pelvis. Selain itu,mual dan fatiguejuga sudah tidak begitu dirasakan. Hal
tersebut menyebabkan timbul peningkatan sejahtera dan energi yang akan meningkatkan
keinginan seksual.Orgasme terjadi dengan frekuensi yang lebih banyak dan dengan
intensitas yang lebih besar selama kehamilan akibat perubahan-perubahan di
atas. Meskipun orgasme akanmenyebabkan kontraksi uterin sementara, namun hal
itu tidak akan melukai jikakehamilan masih dalam keadaan normal.
c.
Trisemester III
Pada trimester
III, calon ibu akan
semakin peka perasaannya.
Tingkatkecemasan
ibu akan semakin meningkat. Calon ibu akan lebih sering
mengelus-elus perutnya untuk menunjukkan perlindungannya kepada janin.
Selain itu, calon ibu jugasenang berbicara kepada janin, terutama ketika janin
berubah posisi. Banyak calon ibuyang sering berkhayal atau bermimpi tentang
apabila hal-hal negatif akan terjadikepada bayinya saat melahirkan nanti.
Khayalan-khayalan
tersebut seperti kelainanletak bayi, tidak dapat melahirkan, atau bahkan
janin akan lahir dengan kecacatan.Calon
ibu menjadi sangat
merasa bergantung kepada pasangannya. Padatrimester III
ini, terutama pada minggu-minggu terakhir kehamilan atau menjelangkelahiran. Ia
membutuhkan lebih banyak perhatian dan cinta dari pasangannya. Ia juga
mulai takut jika akan terjadi sesuatu terhadap suaminya. Maka dari itu, calon
ibuingin memastikan bahwa pasangannya mendukung dan selalu ada di sampingnya.
Pada fase ini,
calon ibu mulai sibuk mempersiapkan
diri untuk persiapanmelahirkan dan mengasuh
anaknya setelah
dilahirkan. Ia mempersiapkan
segalakebutuhan bayi, seperti baju, nama, dan tempat
tidur. Ibu merancang tempat tidur bayi dan juga bernegosiasi dengan
pasangannya tentang pembagian tugas selamamasa-masa menjelang melahirkan sampai
nanti setelah bayi lahir(Murray, 2007).
2.
Masa
postnatal
Masa
postnatal atau masa setelah
lahir terdiri dari
lima periode. Periode
pertama adalah masa neonatal dimana bayi berusia 0 - 28 hari dilanjutkan
masa bayi yaitu
sampai usia 2 tahun. Masa prasekolah adalah masa
anak berusia 2 – 6 tahun. Sampai
dengan masa ini, anak laki-laki dan
perempuan belum terdapat
perbedaan, namun ketika
masuk dalam masa selanjutnya yaitu masa sekolah atau masa pubertas,
perempuan berusia 6 – 10 tahun,
sedangkan laki-laki berusia
8 - 12
tahun. Anak perempuan
memasuki masa adolensensi atau
masa remaja lebih awal dibanding anak laki-laki, yaitu pada usia 10
tahun dan berakhir lebih cepat pada usia 18 tahun. Anak laki-laki memulai
masa pubertas pada usia 12 tahun dan berakhir pada usia 20
tahun (Narendra,2003).
Pada
masa postnatal umumnya wanita sangat lelah setelah melahirkan. Lebih-lebih bila
partusberlangsung agak lama. Karenanya, harus cukup istirahat, delapan jam post
partum wanita harus tidur terlentang untuk mencegah terjadinya perdarahan post
partum. Setelah delapan jam
boleh miring ke kiri atau ke kanan, untuk mencegah adanya thrombosis. Ibu dan
bayi dapat ditempatkan dalam satu kamar bersama disebut rooming in, atau pada
kamar yang terpisah. Pada hari kedua bila perlu telah dapat dilakukan
latihan-latihan senam. Umumya pada hari ketiga sudah bisa duduk, pada hari
keempat sudah bisa berjalan, dan pada hari kelima dapat dipulangkan. Oleh
karena itu pada fase tersebut ibu belum bisa memberikan perhatian penuh pada
anaknya, sehingga diperlukan adanya dukungan dan bantuan baik dari keluarga
(ibu, saudara) serta suami (Romauli,
dkk. 2009).
3.
Masa
Remaja
Memasuki
massa remaja yang diawali dengan terjadinya kematangan seksual, maka remaja
akan dihadapkan pada keadaaan yang memerlukan penyesuaian untuk dapat menerima
perubahan – perubahan yang terjadi. Kematangan seksual dan terjadinya perubahan
bentuk tubuh sangat berpengaruh pada kehidupan kejiwaan remaja.
Datangnya
menarche dapat menimbulkan reaksi yang positif bagi remaja perempuan. Apabila
mereka sudah dipersiapkan dan mendapat informasi tentang akan datangnya
menstruasi, maka mereka tidak akan mengalami kecemasan dan reaksi negatif
lainnya, tetapi bila mereka kurang memperoleh informasi maka akan merasakan
pengalaman yang negatif. Kematangan seksual yang terlalu cepat atau lambat, juga dapat mempengaruhi
kehidupan psikososialnya.
Anak
perempuan yang lebih dahulu mengalami kematangan seksual akan merasa bahwa
dirinya terlalu besar bila dirinya berada didalam kelompok teman sekelasnya. Pada anak laki–laki yang mengalami keterlambatan
dalam kematangan seksualnya, maka bentuk tubuhnya lebih kecil dibandingkan
dengan teman sekelasnya dan hal ini akan sangat tidak menguntungkan baginya,
didalam pergaulan social pun mereka akan mengalami kerugian, karena pada umumnya
orang dewasa dan teman–temannya akan memperlakukannya sebagai anak yang lebih
kecil dan dianggap kurang cakap.
Akibat terjadinya kematangan seksual, akan terjadi
percepatan pertumbuhan badan dimana pertumbuhan anggota badan lebih cepat dari
pada badannya sehinga untuk sementara waktu proporsi tubuh tidak seimbang. Pada
pertengahan masa remaja, mereka mulai memperhatikan apakah tubuhnya terlalu
gemuk atau kurus dan bagaimana menjaga bentuk tubuh yang ideal, oleh karena itu
sebagian remaja akan berusaha melakukan diet.
Selain itu kematangan seksual juga mengakibatkan
remaja mulai tertarik terhadap anatomi fisiologi tubuhnya, mulai muncul
kecemasan–kecemasan dan pertanyaan–pertanyaan seputar menstruasi, mimpi basah,
masturbasi, ukuran buah dada, penis dan lain sebagainya. Selain tertarik kepada
dirinya, juga mulai muncul perasaan tertarik kepada teman sebaya yang berlawan
jenis (Soetjiningsih, 2004),
4.
Masa
Klimakterium/Menopause
Menopause adalah berhentinya pola siklus menstruasi
pada wanita. Ketika memasuki usia menopause, seorang wanita akan mengalami
perubahan yang meliputi aspek fisik maupun psikologis. Perubahan-perubahan pada
masa menopause akan mendorong seorang wanita untuk beradaptasi terhadap
lingkungan psikososialnya.
Perubahan psikologis juga mempengaruhi kualitas
seorang wanita dalam menjalani menopause. Perubahan yang terjadi adalah
perubahan mood, mudah tersinggung,
ansietas, depresi, labilitas emosi, merasa
tidak berdaya, gangguan daya ingat, konsentrasi berkurang, sulit
mengambil keputusan, dan merasa tidak berharga (Bobak, Lowdermilk, &
Jensen, 2004; Glasier & Gabbie, 2005).
Selama menopause, wanita menghadapi
perubahan-perubahan psikososial dalam hal
konsep diri, transisi karir (pekerjaan), seksualitas dan keluarga.
Perubahan-perubahan ini dapat menimbulkan stress yang dapat
mempengaruhi kesehatan mereka. Namun demikian, stress tidak hanya
menimbulkan dampak negatif, tetapi juga dampak positif. Apakah dampak itu positif atau negatif tergantung
pada bagaimana seorang wanita menopause memandang dan mengendalikannya
(Kuntjoro, 2002).
Selain itu, apakah wanita menganggap menopause sebagai
bagian dari suatu kehidupan yang wajar dan harus dialami sebagai sesuatu yang
menandakan masa kehidupan yang baru dan lebih baik, maka gejala-gejala yang
berkaitan dengan menopause tidak akan terlalu berat dan tidak akan menimbulkan
kekacauan dalam keluarga (Gunarsa, 2002).
Masa menopause sering bertepatan dengan keadaan
menegangkan dalam kehidupan wanita seperti merawat orang tua lanjut usia,
memasuki masa pensiun, anak meninggalkan rumah. Ketegangan ini dapat
menimbulkan gejala fisik dan psikologis termasuk menjadi pelupa, kurang dapat
memusatkan perhatian, kecemasan, mudah marah, dan depresi. Ditambah lagi suami
yang semakin tua dan menjadi kurang perhatian
sehingga wanita menopause mengalami ketidaknyamanan dan kesepian yang
menimbulkan ketidakstabilan emosi wanita menopause tersebut.
Wanita menopause akan mengalami kestabilan emosi. Jika
mereka mudah beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada masa
menopause. Apabila seorang wanita tidak siap mental menghadapi masa menopause dan lingkungan psikososial tidak memberi
dukungan yang positif, maka akan berakibat tidak baik terhadap kesehatan
wanita menopause tersebut (Kuntjoro, 2002).
5. Pengaruh
Faktor Psikososial dalam Masalah Kesehatan Reproduksi
1. Faktor Psikososial
Terhadap Masalah Kesehatan Remaja
a. Perilaku
Seks Pranikah pada Remaja
1)
Hubungan Peer Group Dan Lingkungan Pergaulan Dengan
Sikap Terhadap Perilaku Seksual Remaja
Kelompok teman sebaya merupakan lingkungan sosial
pertama di mana remaja belajar untuk hidup bersama orang lain yang bukan
anggota keluarganya.Remaja menganggap teman sebayanya sebagai sesuatu hal yang
penting. Remaja menganggap kelompok sebayanya memberikan sebuah dunia tempat
kawula muda mulai melakukan sosialisasinya, dimana nilai-nilai yang berlaku
bukanlah nilai-nilai yang ditetapkan orang dewasa melainkan oleh
teman-temannya. Remaja banyak menghabiskan waktu dengan teman-teman sebayanya
melebihi waktu yang mereka habiskan dengan orang tua dan anggota keluarga yang
lain, Karena remaja lebih banyak berada diluar rumah bersama dengan teman-teman
sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh teman-teman
sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku lebih besar
daripada pengaruh keluarga (Hurlock, 2004).
Salah satu aspek paling kritis dalam masa remaja
adalah menyangkut pergaulan, baik pergaulan dengan sesama jenis maupun
pergaulan dengan lawan jenis.Jika tidak berhati-hati, pergaulan sangat
berpotensi menyeret masa remaja terjerumus kedalam pergaulan yang tidak patut
(Surbakti, 2009 dalam Hartati 2010).
Remaja dan dorongan seksual adalah dua hal yang sangat
berhubungan erat sehingga tidak bisa dipisahkan.Hal itu disebabkan pada fase
remaja, mereka umumnya memiliki dorongan seksual yang sangat kuat, sedangkan
resiko akibat kegiatan seksual yang menjurus pada hubungan seks belum
sepenuhnya mereka ketahui (Surbakti, 2009 dalam Hartati 2010).
Umumnya remaja lebih sering melakukan kegiatan bersama
teman-temannya sebagai kelompok yang ia kenali. Pergaulan itulah pemicu awal
munculnya pengaruh dari kekuatan eksternal.
Lingkungan pergaulan yang menganut nilai-nilai kebebasan dalam
berinteraksi dengan lawan jenis akan ia turuti demi memperoleh pengakuan dan
penerimaan dari kelompoknya. Mereka seakan merasa khawatir dan takut bila
dianggap kuno atau ketinggalan zaman karena belum mencium atau berciuman dengan
gadis atau pria. Berdasar pengamatan dilapangan, ternyata tidak sedikit anak
yang menjadi perokok berat, peminum minuman keras atau bergaul bebas karena
pengaruh perilaku teman sebaya ( Yusuf, 2004 dalam Hartati 2010).
Remaja merupakan kelompok yang mempunyai banyak resiko
yang berkaitan dengan perilaku seksual sehat. Kondisi ini disebabkan adanya
karakteristik yang spesifik dalam proses perkembangannya, yaitu dengan tingkat
kognitif dan penalarannya telah mampu memahami dan memutuskan sesuatu secara
logis, tetapi di sisi lain mendapat tekanan kelompok sebaya (peer pressure)
yang membawa perilaku kurang rasional. Dalam situasi ini maka sangat besar
kemungkinan remaja lebih terpengaruh oleh perilaku kelompok, sehingga menunjukkan
perilaku yang mengandung resiko (risk-taking behaviour) termasuk didalamnya
yang membawa resiko terjadinya pernikahan dini (Wibowo, 2004 dalam Hartati 2010).
2)
Hubungan Pemahaman Tingkat Agama dengan Perilaku Seks
Pranikah pada Remaja
Remaja memerlukan kemampuan pemecahan masalah yang
baik, sehingga remaja mampu menyelesaikan masalah mereka dengan efektif.Orang
tua perlu memberikan bekal materi, intelektual yang berupa pendidikan formal,
serta bekal spiritual yang berupa pendidikan agama bagi remaja.Pemahaman
tingkat agama yang baik menghasilkan tauhid dan kepercayaan terhadap remaja
untuk menghindari perilaku yang menyimpang.
Berdasarkan hasil penelitian Adawiyah (2007), ada
perbedaan yang sangat signifikan antara perilaku dengan hubungan seksual pranikah
antara remaja yang religiusitasnya tinggi dengan remaja yang religiusitasnya
rendah. Remaja yang religiusitasnya tinggi menunjukkan perilaku terhadap
hubungan seksual pranikah rendah (menolak), sedangkan remaja yang
religiusitasnya rendah menunjukkan perilaku terhadap hubungan seksual pranikah
tinggi (menerima).
Pemahaman tingkat agama mempunyai pengaruh terhadap
perilaku seks pranikah remaja, orang yang agamanya baik maka akan memiliki rasa
takut untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dan dilarang dalam agamanya
(Putri, 2007 ).
3)
Hubungan Peran Keluarga dengan Perilaku Seks Pranikah
pada Remaja
Orang tua adalah tokoh penting dalam perkembangan
identitas remaja.Orang tua dapat membangun hubungan dan merupakan sistem
dukungan ketika remaja menjajaki suatu dunia sosial yang lebih luas dan lebih
kompleks. Hubungan orang tua yang
harmonis akan menumbuhkan kehidupan emosional yang optimal terhadap
perkembangan kepribadian remaja dan sebaliknya, orang tua yang sering
bertengkar akan menghambat komunikasi dalam keluarga, dan remaja akan melarikan
diri dari keluarga.
Keluarga yang tidak lengkap misalnya karena
perceraian, kematian, dan keluarga dengan keadaan ekonomi yang kurang, dapat
mempengaruhi perkembangan jiwa remaja.Dalam hal komunikasi orang tua dengan
remaja, remaja seringkali merasa tidak nyaman atau tabu untuk membicarakan
masalah seksualitas dan kesehatan reproduksinya (Syafrudin, 2008 dalam
darmasih, 2009).
Remaja lebih senang menyimpan dan memilih jalannya
sendiri tanpa berani mengungkapkan kepada orang tua. Hal ini disebabkan karena
ketertutupan orang tua terhadap anak terutama masalah seks yang dianggap tabu
untuk dibicarakan serta kurang terbukanya anak terhadap orang tua karena anak merasa
takut untuk bertanya (Dhede, 2002 dalam darmasih, 2009).
Komunikasi antara orang tua dengan remaja dikatakan
berkualitas apabila kedua belah pihak memiliki hubungan yang baik dalam arti
bisa saling memahami, saling mengerti, saling mempercayai dan menyayangi satu
sama lain, sedangkan komunikasi yang kurang berkualitas mengindikasikan
kurangnya perhatian, pengertian, kepercayaan dan kasih sayang di antara
keduanya (Hopson, 2002 dalam Darmasih, 2009 ).
Menurut Soetjiningsih (2006), bahwa makin baik
hubungan orang tua dengan anak remajanya, makin baik perilaku seksual pranikah
remaja.Hubungan orang tua remaja, mempunyai pengaruh terhadap perilaku seksual
pranikah remaja.Remaja yang melakukan hubungan seksual sebelum menikah banyak
diantaranya berasal dari keluarga yang bercerai atau pernah cerai, keluarga
dengan banyak konflik dan perpecahan.
2. Faktor Psikososial
terhadap Masalah Kesehatan Reproduksi Ibu
a.
Peran Psikososial dan Kurang Gizi pada Ibu Hamil
terhadap Kejadian BBLR dan Kelahiran Prematur
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Calvin Hobel
pada tahun 2003, mengemukakan bahwa stress psikososial dan kurang gizi pada ibu
hamil dapat mempengaruhi kehamilan sehingga mengakibatkan terjadinya resiko
BBLR dan kelahiran prematur. Stress pada ibu hamil meliputi stress hidup,
stress akibat aktivitas pekerjaan dan stress yang berhubungan dengan kecemasan
ibu terhadap kehamilan. Menurut penelitian tersebut bahwa stress yang paling
berpengaruh terhadap kejadian BBLR dan kelahiran prematur adalah stress akibat
kecemasan dalam kehamilan dan waktu paparan stress yang sangat beresiko dalam
menimbulkan kejadian tersebut adalah stress pada awal kehamilan.
b.
Kecemasan Dalam Menghadapi Persalinan pada Ibu Hamil
Kecemasan
merupakan suatu pengalaman
emosional yang timbul
karena adanya ancaman yang tidak
jelas penyebabnya, baik yang berasal dari luar maupun dari dalam individu.
Kehamilan merupakan salah
satu sumber kecemasan.
Kecemasan yang mengganggu
wanita hamil adalah cemas
terhadap kesehatan badannya, kematian yang mungkin akan menimpanya, keadaan yang
kurang menguntungkan menjelang
persalinan (misalnya tidak
dapat berada di rumah sakit pada waktunya) dan takut akan
rasa sakit pada waktu melahirkan.
Disamping itu ada kecemasan yang
secara tidak langsung
berhubungan dengan kehamilan
misalnya, kesulitan perumahan,
kesulitan ekonomi, kesulitan perkawinan, kurangnya perhatian terutama dari suami (Hasibuan &
Simatupang, 1999 dalam Maharani, 2008).
Menurut penelitian yang dilakukan Triana Indri
Maharani (2008) wanita hamil dengan dukungan
sosial yang rata-rata
tinggi memiliki tingkat kecemasan
dalam menghadapi persalinan yang rata-rata rendah. Hal tersebut sejalan
dengan penelitian yang dilakukan Sri Yuni Tursilowati dan Eka Sulistyorini (2007) yang menyatakan bahwa ada
pengaruh yang bermakna antara peran serta suami terhadap tingkat kecemasan ibu
hamil dalam menghadapi proses persalinan.Tingkat kecemasan yang rendah dapat membuat perjalanan kehamilan ibu
semakin lancar dan aman sehingga proses persalinan mudah dan dapat meningkatkan
produksi ASI, kesiapan ibu hamil dan hilangnya rasa takut saat menghadapi
persalinan.
Handayani (dalam Maharani, Triana 2008) berpendapat
bahwa dengan hadirnya
janin di dalam
rahim, maka hal itu akan mempengaruhi emosi si ibu. Apabila
pengaruh emosi ibu tidak didukung oleh lingkungan keluarga yang
harmonis ataupun lingkungan
tempat tinggal yang
kondusif, maka hal ini
akan mengganggu masa kehamilan. Untuk mencegah hal
tersebut terjadi, maka dukungan
sosial untuk ibu
hamil sangatlah penting. Menurut
Suryaningsih (2007), dukungan
sosial ini banyak
diperoleh individu dari lingkungan sekitar, dalam hal ini
lingkungan yang terdekat adalah
pasangan atau suami. Sudah selayaknya pasangan memberikan semangat dan
perhatian kepada istri.Dengan begitu, istri bisa kuat secara mental untuk
menghadapi segala hal di masa kehamilannya.
Peran serta suami dalammenghadapi proses pesalinan
diantaranya bersiaga untuk mempersiapkan dana yang ekstra baik untuk saat
kehamilan maupun saat pesalinan tiba, mengingatkan dan memberi kesempatan ibu
hamil untuk beristirahat dengan cukup, sehingga suami pada saat ini harus
berlapang dada apabila suami harus melakukan kegiatan yang biasa dilakukan oleh
istri atau apabila istri tidak dapat melayani kebutuhan dengan baik seperti
biasanya suami bisa memakluminya.
Saat hamil juga merupakan saat sensitif bagi seorang
wanita. Jadi, sebisa mungkin suami harus dapat menciptakan suasana yang
mendukung perasaan istri, misalnya mengajak jalan-jalan ringan sambil
mengobrol, bicara halus, positifdan
sebagainya. Ini akan membuat
istri merasa nyaman, selain itu
juga semakin mempererat hubungan
suami-istri. Menemani istri ke dokter untuk pemeriksaan kehamilan juga
tak kalah penting. Ada baiknya suami juga membaca literatur tentang kehamilan
danbukan bersikap masa bodoh, yang akan menyebabkan munculnya perubahan
emosi yang tidak menyenangkan pada sang istri (Maharani, 2008).
c.
Faktor
Psikososial Terhadap kejadian Depresi Pasca Melahirkan
Depresi
Pasca Melahirkan (DPM) adalah
salah satu bentuk depresi mayor yang dialami ibu yang melahirkan bayi pertama
dan berlangsung pada tahun pertama setelah kelahiran bayi. Hal ini dikarenakan
periode pasca melahirkan bayi pertama merupakan periode transisi kehidupan baru
yang cukup membuat stress, dan tidak hanya pada ibu baru melainkan juga dengan
ayah baru. Terdapat 3 bentuk depresi yang berkaitan dengan stress pasca
melahirkan, yaitu postpartum blues, postpartum depression, dan postpartum psychosis.
1. Postpartum
blues
Postpartum blues
sering dikenal sebagai babyblues. Ibu
yang mengalami babyblues seringkali
menangis secara terus menerus tanpa sebab yang pasti dan mengalami kecemasan,
keadaan ini berlangsung pada minggu pertama setelah melahirkan dan akan kembali
normal setelah dua minggu tanpa penanganan khusus, jadi yang dibutuhkan adalah
menentramkan dan membantu ibu baru dalam
mengasuh bayi dan melakukan pekerjaan rumah.
2. Postpartum
depression
Postpartum depression
(DPM) merupakan kondisi yang lebih serius dari babyblues syndrome (BBS)jika
setelah dua minggu BBS tidak hilang maka kemungkinan ibu mengalami DPM.
Ibu dengan DPM akan mengalami perasaan sedih dan emosi yang meningkat atau
merasa tertekan, menjadi sensitif,
lelah, perasaan bersalah, cemas dan ketidakmampuan untuk merawat diri dan
merawat bayi. Gejala DPM muncul sejak beberapa hari setelah melahirkan dan
dapat berlangsung hingga setahun setelah melahirkan.
3. Postpartum
psychosis
Kondisi
ini merupakan bentuk DPM yang parah dan membutuhkan penanganan medis segera.
Gejalanya meliputi agitasi yang amat kuat, perilaku yang menunjukkan kebingungan,
perasaan hilang harapan dan malu, insomnia, halusinasi dan hiperaktif.
Penanganan medis harus dilakukan sesegera
mungkin dengan memasukkan penderita ke Rumah Sakit karena kondisi ini
biasanya disertai resiko bunuh diri atau menyakiti bayi.
Banyak
faktor yang menjadi penyebab DPM, antara lain :
1. Faktor biologis
Faktor biologis yang
menjadi penyebab DPM yaitu meliputi mengalami disfungsi kelenjar tiroid, masalah
kesuburan dan
pernah mengalami keguguran.
2. Faktor psikologis
a.
Stress yang berhubungan
dengan peran sebagai ibu seperti memikirkan kesehatan bayi, stress pengasuhan
bayi, perasaan tidak siap
menjadi orangtua,serta kurangnya
pengetahuan tentang cara-cara menangani bayi.
b.
Sejarah masa kecil ibu
seperti kekerasan fisik, emosional atau seksual pada masa kecil, kehidupan
keluarga yang tidak harmonis, kehamilan yang tidak diharapkan.
c.
Ketidakbahagiaan
pernikahan , jika pernikahan tidak bahagia atau hubungan dengan pasangan kurang
bahagia seperti gangguan hubungan dengan suami selama periode kehamilan, komunikasi
terhambat, perbedaan nilai dan ketidaksesuaian keinginan.
3. Faktor sosial
Faktor sosial yang menjadi
penyebab DPM meliputi dukungan sosial
dan emosional terutama dari pasangan karena ibu yang baru melahirkan sedang
mengalami masa transisi menjadi seorang ibu sehingga membutuhkan bantuan dan
dukungan sebelum dan selama kehamilan serta setelah kelahiran bayi. Selain itu,
status sosial
ekonomi yang rendah seperti tidak bekerja, menjadi orangtua tunggal atau
bercerai, tingkat pendidikan yang rendah juga dapat menjadi faktor penyebab DPM.
Tekanan pada ibu yang mengalami kesulitan menyusui atau tidak mau menyusui
bayinya juga dapat menjadi faktor
penyebab seorang ibu mengalami DPM.
Menurut penelitian yang dilakukan Roswiyani (2003)
stress selama periode kehamilan dan melahirkan berpotensi mengakibatkan
munculnya gangguan DPM, potensi ini dapat menjadi lebih besar apabila disertai
dengan ketidakbahagiaan pernikahan, karena ketidakbahagiaan pernikahan
berpeluang menimbulkan kesenjangan komunikasi dengan suami, serta kurangnya
afeksi suami terhadap istri, padahal dukungan suami terhadap istri selama
periode kehamilan dan melahirkan merupakan aspek yang amat penting.
Ibu
yang mengalmi DPM cenderung diliputi perasaan sedih sehingga menjadi kurang
peka untuk memberikan efek positif pada bayinya, hal tersebut dapat berakibat
buruk terhadap bayi seperti gangguan psikopatologis dan keterlambatan
perkembangan bayi, bayi-bayi dari ibu yang mengalami DPM cenderung mengalami
gangguan orientasi, gangguan tidur dan beberapa jenis gangguan fisik lain
disamping hambatan perkembangan verbal, gangguan perilaku dan keterlambatan
perkembangan skolastik (clark, et all, 2003).
3. Faktor Psikososial
terhadap Masalah Kesehatan Reproduksi Lansia
a. Masalah
Adaptasi Psikososial Wanita Menopause
Ketika memasuki masa menopause, seorang wanita akan mengalami berbagai
gejolak atau perubahan yang meliputi aspek fisik maupun psikologis yang dapat
mempengaruhi berbagai aspek kehidupan wanita tersebut. Ketidaknyamanan akibat
perubahan fisik dapat berupa rasa kaku dan linu secara tiba-tiba di sekujur
tubuh, hot flush, kelelahan, sakit kepala, berdebar-debar (Hurlock, 1992 dalam
Kuntjoro, 2002). Selain itu, gejala psikologis yang menonjol ketika menopause
adalah mudah tersinggung, sukar tidur, tertekan, gugup, kesepian, cemas dan
depresi (Nugroho, 2000; Kuntjoro, 2002).
Gejala-gejala yang kurang menyenangkan yang dialami wanita menopause
akibat perubahan fisik dan psikologis, sangat mempengaruhi kualitas hidup
mereka. Pengetahuan yang cukup akan membantu mereka memahami dan mempersiapkan
dirinya menjalani masa menopause dengan lebih baik (Kuntjoro, 2002).
Reitz (1993) menyatakan banyaknya keluhan yang dirasakan wanita pada
masa menopause baik fisik maupun
psikologis tidak boleh dianggap ringan karena dapat menyebabkan stres yang
tinggi. Namun demikian, wanita menopause akan mengalami kestabilan emosi jika
mereka mudah beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada masa
menopause (Kuntjoro, 2002).
Wanita menopause pekerja memiliki peran ganda sebagai seorang istri, ibu
rumah tangga, menjalankan tugas reproduksi, anggota masyarakat, dan sekaligus
pencari nafkah, dalam menjalankan peran tersebut sering mengalami stres.Sebagai
pencari nafkah, wanita menopause pekerja sering mengalami stres yang bersumber
dari lingkungan kerja. Stres tersebut dapat terjadi karena beberapa alasan
antara lain, tuntutan kerja, tanggung jawab kerja, lingkungan fisik kerja,
hubungan antarmanusia yang buruk, kurang pengetahuan dan peningkatan jenjang
karir serta rasa kurang aman dalam kerja (Hardjana, 1994 dalam Simanjuntak 2007).
Berdasarkan penelusuran literatur tersebut, diasumsikan bahwa pada
kondisi faktor-faktor pengaruh yang sama (sosial ekonomi budaya, pendidikan,
ajaran agama, lingkungan dan pengetahuan tentang menopause), stres yang dialami
wanita menopause pekerja lebih berat daripada wanita menopause bukan pekerja.
Namun dari hasil penelitian Rugun Simanjuntak (2007) ditemukan bahwa kedua
kelompok responden wanita menopause pekerja dan bukan pekerja berada dalam
rentang adaptasi psikososial yang positif, artinya tidak ada perbedaan adaptasi
psikososial antara wanita-wanita menopause pekerja dan bukan pekerja, sedangkan
menurut penelitian yang dilakukan
Indri Arsia (2006) menunjukkan
bahwa pada ibu tidak bekerja memiliki tingkat kecemasan
yang lebih tinggi dari ibu bekerja dalam menghadapi menopause, tingkat kecemasan tersebut dipengaruhi oleh pengetahuan,
wawasan dan aktivitas yang dijalani oleh wanita usia dewasa madya.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Psikososial
adalah menyangkut aktivitas atau masalah sosial yang timbul sehubungan dengan
faktor psikologis atau proses mental. Adaptasi psikososial adalah cara individu
untuk menyesuaikan status mental dan emosionalnya terhadap perubahan-perubahan
yang terjadi didalam lingkungan sosialnya.
Kesehatan reproduksi adalah keadaan sehat jasmani, rohani dan bukan
hanya terlepas dari ketidakhadiran penyakit atau kecacatan semata, yang
berhubungan dengan sistem, fungsi dan proses reproduksi.
Adaptasi psikososial terhadap tahapan kehidupan reproduksi manusia berupa fase
prenatal (ketidakpastian, ambivalen, perubahan seksual), fase postnatal
(depresi pasca melahirkan pada ibu/DPM), masa remaja (kecemasan pubertas,
kenakalan remaja, NAPZA, dll),
dan masa klimakterium/menopause.
Beberapa
faktor psikososial terkait permasalahan kesehatan reproduksi remaja antara
lain; hubungan teman sebaya dan lingkungan pergaulan dengan sikap perilaku
seksual remaja, adanya hubungan pemahaman tingkat agama dengan perilaku seks
pranikah pada remaja, serta peran keluarga terhadap perilaku seks pranikah
remaja.
Faktor
psikososial terhadap kesehatan reproduksi ibu antara lain dikarenakan karena;
kecemasan menghadapi persalinan yang sering dialami oleh ibu/calon ibu, adanya
kejadian depresi pada ibu pasca melahirkan atau biasa disebut dengan DPM (postpartum blues, postpartum depression, dan
postpartum psychosis). Selain itu, ketika wanita memasuki usia 40-50 tahun
dan mengalami menopause, seorang wanita
akan mengalami berbagai gejolak atau perubahan yang meliputi aspek fisik maupun
psikologis yang dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan wanita tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Adawiyah R. 2007. Perbedaan Perilaku Terhadap
Hubungan Seksual Pranikah Ditinjau Dari Religiusitas.
http://etd.library.ums.ac.id/go.php?id=jtptumsgdl-s1-2007-rabiatulad-5614. Diakses pada tanggal 3 April 2012.
Arsia, Indri. Perbedaan Tingkat
Kecemasan pada Wanita Usia Dewasa Madya dalam Menghadapi Menopause antara Ibu
Bekerja dengan Ibu Tidak Bekerja.library@lib.unair.ac.id : Diakses pada tanggal 3 April 2012.
Atmadibrata,
B. P. 2005. Punya Bayi kok, malah sedih.Femina,
Agustus, 32, 76-77.
Baihaqi, MIF., Sunardi, Akhlan, R.N.R., Heryati, E.
2005. Psikitari (Konsep Dasar dan
Gangguan-gangguan).PT. Refika Aditama. Bandung
Bobak,
Lowdermilk, & Jensen. (2005). Buku
Ajar Keperawatan Maternitas Edisi 4 Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Clark, R, Tluczek (2003)
Psychotherapy for postpartum depression. American Journal of
Orthopsychiatry.
Darmasih, Ririn. (2009). Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seks Pranikah pada Remaja SMA di
Surakarta.UMY : Surakarta.
Feldman, Robert S. 2003. Essential of Understanding Psychology, Fifth Edition. McGraw-Hill,
Inc. New York.
Gunarsa, Dr
Singgih D.2002 ,Psikologi Perkembangan.
PT BPK Gunung Mulia, Jakarta.
Harahap, Juliandi. (2003). Kesehatan Reproduksi. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
Hartati,
Dwi. (2010) Hubungan Peer Group dan Lingkungan
Pergaulan dengan Sikap Terhadap Perilaku Seksual Pranikah pada Mahasiswa S1.UMS
: Surakarta.
Hobel, C.
2003. Role of Psychosocial and
Nutritional Stress on Poor Pregnancy Outcome.Departement of Obstetrics and
Gynekology. Los Angeles.
ICPD, 1994, Definisi Kesehatan Reproduksi Remaja.http://situs.kespro.info/krr/referensi2,
htm.
Imelda, J.D. 2004. Kesehatan dan Hak Reproduksi.
I.M.Hidayana, Seksualitas Teori
dan Realitas. Program Gender dan Seksualitas FISIP UI bekerjasama dengan
Ford Foundation.
Kasdu, Z. (2002). Psikologi wanita (terjemahan). Bandung:
PustakaHidayah.
Kuntjoro Z,
2002. Dukungan Sosial Pada Lansia.http://www.e-psikologi.co.id Tanggal akses: 3 April 2012.
Maharani, Triana.(2008). Hubungan Antara Dukungan Sosial dan Kecemasan dalam Menghadapi
Persalinan pada ibu Hamil Trisemester III. Universitas Gunadarma. Depok.
Murray,
Sharon Smith & Emily Slone McKinney. (2007).Foundations of Maternal-Newborn Nursing
4thEdition. Singapore:
Saunders.
Narendra,
M. B. 2003. Penilaian Pertumbuhan dan
Perkembangan Anak. Jakarta: EGC.
Papilia E. D, et
al. (2008). Human Development.Jakarta
: Kencana Prenada Media Group.
Putri M. A. 2007. Hubungan Antara Pengetahuan
Seksualitas Dan Religiusitas Dengan Intensi Perilaku Seksual Pranikah Pada
Mahasiswi http://etd.library.ums.ac.id/go.php?id=jtptums-gdl-s1-2007-citraanggi-4378.Diakses pada tanggal 3 April 2012.
Romauli, dkk. 2009. Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta: Nuha Medika.
Simanjuntak, Rugun. (2007). Adaptasi
Psikososial Wanita Menopause Pekerja dan Bukan Pekerja di Kecamatan Percuit.USU.
Soetjiningsih dkk. 2004. Buku
Ajar: Tumbuh Kembang Remaja dan
Permasalahannya. Jakarta : Sagung Seto.
Swasono, M. H. (2005). Menopause peristiwa alami yang menguntungkan
perempuan.Dibuka pada 4April 2012 darihttp://www.suarakaryaonline.com/news.html?category_name=wanita.