Rabu, 09 Mei 2012

sem 6 tugas epid_kespro psikososial


BAB I
PENDAHULUAN
Reproduksi adalah suatu proses kehidupan manusia dalam menghasilkan keturunan demi kelestarian hidup, dalam proses reproduksi tersebut manusia terus mengalami perubahan dalam perkembangan dan pertumbuhan reproduksi mulai dari masa dalam kandungan hingga mengalami masa klimaksterium, dalam proses perubahan yang berkelanjutan tersebut seringkali menimbulkan permasalahan yang diakibatkan oleh banyak faktor, salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan reproduksi adalah faktor psikososial.
Faktor psikososial merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang baik secara psikologis maupun sosial, masalah-masalah kesehatan reproduksi dilihat dari aspek psikososial pada saat fase prenatal (dalam kandungan), fase postnatal, masa remaja dan fase klimakterium/menopause.
Pada fase prenatal biasanya masalah yang sering ditemukan adalah kecemasan pada saat kehamilan dan saat akan melahirkan. Untuk mencegah hal tersebut terjadi, maka dukungan sosial untuk ibu hamil sangatlah penting. Menurut Suryaningsih (2007), dukungan sosial ini banyak diperoleh individu dari lingkungan sekitar, dalam hal ini lingkungan yang terdekat adalah pasangan atau suami. Sudah selayaknya pasangan memberikan semangat dan perhatian kepada istri.Dengan begitu, istri bisa kuat secara mental untuk menghadapi segala hal di masa kehamilannya.
Kecemasan juga terjadi pada wanita pasca melahirkan, biasanya calon ibu tersebut akan merasa depresi atau lebih sering dikenal dengan Depresi Pasca Melahirkan (DPM). Crockenberg dan Leekers (2003) mengemukakan bahwa sekitar 10-30% ibu setelah melahirkan mengalami kondisi depresi. 70% diantara para ibu yang baru melahirkan mengalami gangguan psikologis selama kurang lebih 12 bulan atau 1 tahun dengan rentang episode antara 4 minggu hingga 6 bulan. Dr. dr. Irawati Ismail SpKj, MEpid dari bagian psikiatri UI melaporkan bahwa 25% dari 580 pasiennya (ibu melahirkan) mengalami BBS. Dr. Irawati mengemukakan gejala BBS dialami oleh sekitar 50-75% ibu melahirkan atau 2/3 dari jumlah ibu melahirkan di seluruh dunia (Atmadibrata, 2005).
Permasalahan kesehatan reproduksi terhadap masa remaja banyak dijumpai pada berbagai kasus, seperti perilaku seks bebas, merokok, penyalahgunaan NAPZA, kehamilan diluar nikah, dan sebagainya.Hal tersebut biasanya karena faktor teman sebaya maupun keluarga.Seperti dikutip dari Jurnal KB Nasional Vol 244 tahun 2000: 1-8 menyebutkan bahwa terjadi peningkatan jumlah remaja yang melakukan seks pra nikah di beberapa kota besar di Indonesia sebanyak 20%, 2,4 juta per tahunnya (700-800 ribu) remaja di Jawa Barat melakukan aborsi, 50% penderita HIV/AIDS adalah remaja usia 15-19 tahun, dan menurut data dari BPS bahwa sebanyak 2.736 remaja yang mengkonsumsi narkoba.
Menurut siklus kehidupan manusia normal, setiap orang yang berusia panjang akan mengalami proses mulai dari bayi, masa kanak-kanak, remaja, dewasa dan tua. Kehidupan wanita juga mengalami proses perkembangan tersebut, termasuk fase-fase yang berkaitan dengan fungsi organ reproduksi wanita. Hal ini berarti semakin meningkatnya jumlah manusia tua, termasuk wanita yang telah memasuki usia menopause (Kasdu, 2002).
Menurut data Departemen Kesehatan (Depkes) perempuan Indonesia yang memasuki menopause sebesar 7,4% dari populasi pada tahun 2000. Jumlah tersebut diperkirakan meningkat menjadi 11% pada tahun 2005 dan akan naik lagi sebesar 14% atau sekitar 30 juta orang pada tahun 2015. Peningkatan populasi perempuan menopause pada umumnya akan disertai berbagai tingkat dan jenis permasalahan yang kompleks yang berdampak pada peningkatan masalah kesehatan perempuan menopause tersebut (Swasono, 2005).









BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.      Faktor Psikososial
1.    Pengertian Faktor Psikososial
Psikososial adalah menyangkut aktivitas atau  masalah sosial yang timbul sehubungan dengan faktor psikologis atau  proses mental, Sedangkan Faktor psikososial merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang baik secara psikologis maupun sosial (Franz, 1997; Helson, 1997 dalam Papilia, et al, 2008).
2.    Adaptasi Psikososial
Adaptasi psikososial adalah cara individu untuk menyesuaikan status mental dan emosionalnya terhadap perubahan-perubahan yang terjadi didalam lingkungan sosialnya. Individu merupakan makhluk biopsikososial sebagai satu kesatuan utuh yang memiliki mekanisme koping baik bersifat positif maupun negatif untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. Kemampuan beradaptasi seseorang dipengaruhi oleh tiga komponen yaitu penyebab utama terjadinya perubahan, kondisi dan situasi yang ada serta keyakinan dan pengalaman beradaptasi.
Adaptasi psikososial melibatkan cara seseorang menyesuaikan diri secara emosional dan mental sebagai self sistem, sebagai individu dan hubungannya dengan orang lain, serta pada masyarakat umumnya. Model Roy menunjukkan manusia sebagai mahluk biopsikososial dan menjelaskan teori adaptasinya kedalam empat  model. Tiga diantaranya  yaitu  self concept mode,  interdependence mode,  role mode,  yang dikaitkan dengan cara seseorang beradaptasi secara psikososial. Model  self concept  mencakup konsep diri dan integritas ego. Model  interdependence  berarti bagaimana seseorang beradaptasi dengan orang lain. Model peran mengarah kepada bagaimana seseorang beradaptasi terhadap perubahan-perubahan peran yang bervariasi yang harus ditunjukkannya untuk mempertahankan keseimbangan dalam dirinya, keluarga dan masyarakat. Sejumlah studi mengatakan bahwa perkembangan psikososial menimbulkan dua kemungkinan yang terjadi yaitu kestabilan atau perubahan (Franz, 1997; Helson, 1997 dalam Papilia, et al, 2008).
3.    Perkembangan Psikososial Individu
a.    Keluarga
Lingkungan yang terdekat, yang paling awal dan yang terlama dialami seseorang adalah lingkungan keluarga. Keluarga adalah salah satu mata rantai kehidupan yang paling esensial dalam sejarah perjalanan hidup manusia. Keluarga sebagai pranata sosial pertama dan utama, mempunyai arti paling strategis dalam mengisi dan membekali nilai-nilai kehidupan yang dibutuhkan oleh anak yang sedang mencari makna kehidupannya. Dengan kata lain, pranata keluarga adalah titik awal keberangkatan, sekaligus sebagai modal awal perjalanan hidup anak yang kemudian dilengkapi dengan rambu-rambu perjalanan yang digariskan pranata sosial lainnya di lingkungan pergaulan sehari-hari. Keluarga yang hubungan antar anggotanya tidak harmonis, penuh konflik dapat memicu timbulnya berbagai masalah kesehatan mental bagi anak (Baihaqi, 2005).
Pengalaman-pengalaman yang dilalui anak ketika kecil, termasuk perilaku orang tua dan sikap mereka terhadap anak mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan anak nantinya. Karena kepribadian terbentuk dari pengalaman sejak kecil, terutama pada tahun-tahun pertama kehidupan anak. Pengalaman itu termasuk pendidikan, perlakuan orang tua, sikap orang tua terhadap anak atau sikap orang tua satu sama lain (ayah dan ibu).Pengalaman-pengalaman pada tahun-tahun pertama itulah yang menentukan kesehatan mental seseorang, bahagia atau tidaknya di kemudian hari (Baihaqi, 2005).
b.   Lingkungan Pergaulan
Individu pada umumnya banyak menghabiskan waktunya untuk melakukan kontak sosial dengan orang lain dalam hal ini bertujuan untuk mencapai kepuasannya dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Dalam kehidupan sehari-hari, kontak sosial paling sering individu tersebut lakukan dengan lingkungan yang paling dekat dengannya dan yang paling sering ia temui, yaitu lingkungan tempat dirinya bergaul dengan individu lain terutama yang sebaya dengan dirinya dengan alasan, memiliki tujuan dan latar belakang yang serupa. Contohnya, setiap hari seseorang akan melakukan aktivitas-aktivitas umum seperti sekolah dan bekerja yang membuatnya berada pada suatu lingkungan tertentu dan berakhir pada aktivitasnya bergaul dengan individu-individu dalam lingkungan tersebut, dalam hal ini teman sekolah dan rekan kerja(Feldman, 2003).
c.    Pasangan Hidup
Salah satu tugas perkembangan dewasa adalah membentuk suatu komitmen dengan pasangan hidup atau membina rumah tangga. Pasangan hidup mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam perkembangan psikososial.  Kematian pasangan hidup adalah penyebab stress (stressor) yang paling utama. Banyak terjadi kasus pasangan suami istri yang setelah ditinggal pasangan oleh kematian atau perceraian mengalami stress dan berpengaruh terhadap kehidupan sosial mereka.
Konflik dengan pasangan hidup juga dapat menimbulkan berbagai gangguan seksual seperti disfungsi seksual.Seseorang yang mengalami disfungsi seksual dapat ditangani dengan terapi pasangan karena seringkali menyertai kehidupan perkawinan yang buruk atau masalah dengan pasangannya. Oleh karena itu dibutuhkan terapi yang juga melibatkan keterampilan komunikasi non-seksual bagi masing-masing pasangan(Feldman, 2003).
B.       Kesehatan Reproduksi
1.    Pengertian Kesehatan Reproduksi
Reproduksi adalah suatu proses kehidupan manusia dalam menghasilkan keturunan demi kelestarian hidup , Kesehatan reproduksi adalah keadaan sehat jasmani, rohani dan bukan hanya terlepas dari ketidakhadiran penyakit atau kecacatan semata, yang berhubungan dengan sistem, fungsi dan proses reproduksi (ICPD, 1994).
Kesehatan reproduksi menurut Depkes (2004) dalam (Imelda, 2004) adalah keadaan kesejahteraan fisik, mental, dan sosial yang utuh (tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan) dalam segala hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi dan fungsi serta prosesnya.
2.    Pelayanan Kesehatan Reproduksi
Sesuai dengan rekomendasi strategi regional WHO untuk negara-negaraanggota di Asia Tenggara, dua paket pelayanan kesehatan reproduksi telahdirumuskan antara lain :
a.         Paket Kesehatan Reproduksi Esensial :
1)   Kesejahteraan Ibu dan Bayi
2)   Keluarga Berencana
3)   Pencegahan dan penanganan ISR/PMS/HIV
4)   Kesehatah Reproduksi Remaja
b.         Paket Kesehatan Reproduksi Komprehensip :
5)   Pencegahan dan penanganan masalah usia lanjut, selain paketesensial diatas.
(Harahap, 2003).

3.    Masalah-masalah dalam Kesehatan Reproduksi
Isu-isu yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi kadang merupakan isu yang pelik dan sensitif, seperti hak-hak reproduksi, kesehatan seksual, penyakit menular seksual (PMS) termasuk HIV/AIDS, kebutuhan khusus remaja, dan perluasan jangkauan pelayanan kelapisan masyarakat kurang manpu atau meraka yang tersisih.
Menurut program kerja WHO ke IX (1996-2001), masalah kesehatan reproduksi ditinjau dari pendekatan siklus kehidupan keluarga, meliputi :
a.    Praktek tradisional yang berakibat buruk semasa anak-anak (seperti mutilasi, genital, deskriminasi nilai anak, dsb)
b.    Masalah kesehatan reproduksi remaja (kemungkinan besar dimulai sejak masa kanak-kanak yang seringkali muncul dalam bentuk kehamilan remaja, kekerasan/pelecehan seksual dan tindakan seksual yang tidak aman)
c.    Tidak terpenuhinya kebutuhan ber-KB, biasanya terkait dengan isu aborsi tidak aman
d.   Mortalitas dan morbiditas ibu dan anak (sebagai kesatuan) selama kehamilan, persalian dan masa nifas, yang diikuti dengan malnutrisi, anemia, berat bayi lahir rendah
e.    Infeksi saluran reproduksi, yang berkaitan dengan penyakit menular seksual
f.     Kemandulan, yang berkaitan erat dengan infeksi saluran reproduksi dan penyakit menular seksual
g.    Sindrom pre dan post menopause dan peningkatan resiko kanker organ reproduksi
h.    Kekurangan hormon yang menyebabkan osteoporosis dan masalah ketuaan lainnya.
(Harahap, 2003)
















BAB III
PEMBAHASAN
A.      Adaptasi Psikososial dalam Tahapan Kehidupan Reproduksi Manusia
1.    Masa Prenatal
Kehamilan adalah suatu krisis maturitas yang dapat menimbulkan stress,tetapi berharga karena wanita tersebut menyiapkan diri untuk memberikan perawatan danmengemban tanggungjawab yang lebih besar (Bobak, Lowdermilk, & Jensen, 2005).
Kehamilan merupakan tantangan perkembangan yang harus dihadapi seluruh keluarga, dari pasangan suami-istri hingga anggota keluarga yang lain. Masa kehamilan banyak disertaitekanan dan ancaman, khususnya bagi calon ibu, seperti perubahan citra tubuh, perubahanhormonal, bahkan ketidaknyamanan di berbagai aspek fisiologis dan psikologis. Oleh karenaitu, seluruh anggota keluarga harus dapat beradaptasi terhadap kehamilan ini danmenginterpretasikannya berdasarkan kebutuhan masing-masing (Bobak, Lowdermilk, & Jensen, 2005).
Adaptasi dalam kehamilan dilakukan oleh seorang wanita dengan tahapan sebagai berikut :
a.    Trisemester I
1)   Ketidakyakinan/ketidakpastian
Pada awal minggu kehamilan, wanita akan merasa tidak yakin dengankehamilannya dan berusaha untuk mengkonfirmasikan kehamilan tersebut. Hal inidisebabkan karena tanda-tanda fisik akan kehamilannya tidak begitu jelas atau sedikit berubah.Pada trimester I, biasanya wanita hamilmencari konfirmasi lebih lanjut ke dokter kandungan, bidan bersertifikat, atau perawatterlatih.
2)   Ambivalen
Ambivalen didefinisikan sebagai konflik perasaan yang simultan, seperti cintadan benci terhadap seseorang, sesuatu, atau keadaan (Bobak, Lowdermilk, & Jensen,2005).
Setiap wanita hamil memiliki sedikit rasa ambivalen dalam dirinya selamamasa kehamilan. Ambivalen merupakan respon normal individu ketika akanmemasuki suatu peran baru. Beberapa wanita merasa bahwa ini tidak nyata dan bukanlah saat yang tepat untuk hamil, walaupun ini telah direncanakan atau diidamkan.
Wanita yang sudah merencanakan kehamilan sering berpikir bahwa iamembutuhkan waktu yang lama untuk menerima kehamilan dan ia akan merasakhawatir dengan bertambahnya tanggung jawab dan perasaan akanketidakmampuannya untuk menjadi orang tua yang baik. Ia takut jika kehamilan iniakan mempengaruhi hubungannya dengan orang lain.
3)   Fokus pada diri sendiri
Pada awal kehamilan, pusat pikiran ibu berfokus pada dirinya sendiri, bukan pada janin. Ibu merasa bahwa janin merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari diri ibu. Selain itu, calon ibu juga mulai berkeinginan untuk menghentikan rutinitasnyayang penuh tuntutan sosial dan tekanan agar dapat menikmati waktu kosong tanpa beban. Banyak waktu yang dihabiskan untuk tidur. Perubahan fisik dan meningkatkanhormon akan menyebabkan emosi menjadi labil. Perubahan hormonal merupakan bagian dari respon ibu terhadap kehamilan. Perubahan hormon inidapat menjadi penyebab perubahanmood, hampir sama seperti saat wanita mestruasi ataumenopause.Mood ibu hamil akan mudah sekali berubah-ubah. Perubahan iniseringkali membuat ibu dan orang-orang di sekitarnya menjadi bingung.
4)   Perubahan seksual
Selama trimester I, seringkali keinginan seksual wanita menurun. Ketakutan akan keguguran menjadi penyebab pasangan menghindari aktivitas seksual. Apalagi jika wanita tersebut sebelumnya pernah mengalami keguguran.


b.    Trisemester II
Pada trimester II, mulai terlihat tanda-tanda perubahan fisik yang jelas,sehingga dirasakan keberadaan janin, Hal tersebutmembuat calon ibu menerima bahwa janin merupakan bagian terpisah dari dirinyameskipun si janin tetap saja bergantung pada dirinya. Pada tahap ini, janin sudah menjadi fokus utama dari si ibu. Ibu mulaimemperhatikan kesehatan dari janin.
Ibu menjadi tertarik akan informasi tentang dietdan perkembangan fetal. Pada tahap ini, beberapa wanita akan menjadi lebih narsis dan introvertterhadap dirinya sendiri. Ia sadar akan kemampuannya untuk melindungi danmenyediakan kebutuhan bagi janin. Ia lebih selektif akan makanan dan baju yangingin dipakai. Beberapa wanita juga akan kehilangan ketertarikan akan pekerjaan.Beberapa wanita akan menjadi begitu berlebihan jika mengalami kejadian, karena iatakut jika kejadian tersebut akan berdampak buruk dan membahayakan janin. Pada trimester II, perubahan bentuk tubuh terjadi begitu cepat dan terlihat jelas.
Wanitamerasa seluruh tubuhnya bertambah besar dan menyita ruang yang lebih luas.Perubahan-perubahan ini akan diterima dan dianggap sebagai suatu kebanggaan bagi pasangan suami dan istri.Akan tetapi, sikap ini dapat berubah-ubah seiring dengan perkembangan kehamilan. Pada awal kehamilan, citra tubuh terlihat positif, namunseiring perkembangan kehamilan pencitraan terhadap tubuhnya akan berubah menjadilebih negatif. Perasaan ini hanya bersifat sementara dan tidak akan mempengaruhi persepsi tentang diri mereka secara permanen.
Pada trimester II, terjadi peningkatan sensitifitas dari lebia dan klitoris, serta peningkatan lumbrikasi vaginal sebagai hasil dari vasokongesti pelvis. Selain itu,mual dan fatiguejuga sudah tidak begitu dirasakan. Hal tersebut menyebabkan timbul peningkatan sejahtera dan energi yang akan meningkatkan keinginan seksual.Orgasme terjadi dengan frekuensi yang lebih banyak dan dengan intensitas yang lebih besar selama kehamilan akibat perubahan-perubahan di atas. Meskipun orgasme akanmenyebabkan kontraksi uterin sementara, namun hal itu tidak akan melukai jikakehamilan masih dalam keadaan normal.

c.    Trisemester III
Pada trimester III, calon ibu akan semakin peka perasaannya. Tingkatkecemasan ibu akan semakin meningkat. Calon ibu akan lebih sering mengelus-elus perutnya untuk menunjukkan perlindungannya kepada janin. Selain itu, calon ibu jugasenang berbicara kepada janin, terutama ketika janin berubah posisi. Banyak calon ibuyang sering berkhayal atau bermimpi tentang apabila hal-hal negatif akan terjadikepada bayinya saat melahirkan nanti.
Khayalan-khayalan tersebut seperti kelainanletak bayi, tidak dapat melahirkan, atau bahkan janin akan lahir dengan kecacatan.Calon ibu menjadi sangat merasa bergantung kepada pasangannya. Padatrimester III ini, terutama pada minggu-minggu terakhir kehamilan atau menjelangkelahiran. Ia membutuhkan lebih banyak perhatian dan cinta dari pasangannya. Ia juga mulai takut jika akan terjadi sesuatu terhadap suaminya. Maka dari itu, calon ibuingin memastikan bahwa pasangannya mendukung dan selalu ada di sampingnya.
Pada fase ini, calon ibu mulai sibuk mempersiapkan diri untuk persiapanmelahirkan dan mengasuh anaknya setelah dilahirkan. Ia mempersiapkan segalakebutuhan bayi, seperti baju, nama, dan tempat tidur. Ibu merancang tempat tidur  bayi dan juga bernegosiasi dengan pasangannya tentang pembagian tugas selamamasa-masa menjelang melahirkan sampai nanti setelah bayi lahir(Murray, 2007).

2.    Masa postnatal
Masa postnatal atau  masa  setelah  lahir  terdiri  dari  lima  periode.  Periode  pertama adalah masa neonatal dimana bayi berusia 0 - 28 hari  dilanjutkan  masa  bayi  yaitu  sampai usia 2 tahun. Masa prasekolah adalah  masa  anak  berusia  2    6  tahun.  Sampai  dengan masa ini, anak laki-laki dan  perempuan  belum  terdapat  perbedaan,  namun  ketika  masuk dalam masa selanjutnya yaitu masa sekolah atau masa pubertas, perempuan berusia 6 – 10 tahun,  sedangkan  laki-laki  berusia  8  -  12   tahun.   Anak   perempuan   memasuki   masa adolensensi atau masa remaja lebih awal dibanding anak laki-laki, yaitu pada usia  10  tahun dan berakhir lebih cepat pada usia 18 tahun. Anak laki-laki  memulai  masa  pubertas  pada usia 12 tahun dan berakhir pada usia 20 tahun (Narendra,2003).
Pada masa postnatal umumnya wanita sangat lelah setelah melahirkan. Lebih-lebih bila partusberlangsung agak lama. Karenanya, harus cukup istirahat, delapan jam post partum wanita harus tidur terlentang untuk mencegah terjadinya perdarahan post partum. Setelah delapan jam boleh miring ke kiri atau ke kanan, untuk mencegah adanya thrombosis. Ibu dan bayi dapat ditempatkan dalam satu kamar bersama disebut rooming in, atau pada kamar yang terpisah. Pada hari kedua bila perlu telah dapat dilakukan latihan-latihan senam. Umumya pada hari ketiga sudah bisa duduk, pada hari keempat sudah bisa berjalan, dan pada hari kelima dapat dipulangkan. Oleh karena itu pada fase tersebut ibu belum bisa memberikan perhatian penuh pada anaknya, sehingga diperlukan adanya dukungan dan bantuan baik dari keluarga (ibu, saudara) serta suami (Romauli, dkk. 2009).

3.    Masa Remaja
Memasuki massa remaja yang diawali dengan terjadinya kematangan seksual, maka remaja akan dihadapkan pada keadaaan yang memerlukan penyesuaian untuk dapat menerima perubahan – perubahan yang terjadi. Kematangan seksual dan terjadinya perubahan bentuk tubuh sangat berpengaruh pada kehidupan kejiwaan remaja.
Datangnya menarche dapat menimbulkan reaksi yang positif bagi remaja perempuan. Apabila mereka sudah dipersiapkan dan mendapat informasi tentang akan datangnya menstruasi, maka mereka tidak akan mengalami kecemasan dan reaksi negatif lainnya, tetapi bila mereka kurang memperoleh informasi maka akan merasakan pengalaman yang negatif. Kematangan seksual yang terlalu cepat atau lambat, juga dapat mempengaruhi kehidupan psikososialnya.
Anak perempuan yang lebih dahulu mengalami kematangan seksual akan merasa bahwa dirinya terlalu besar bila dirinya berada didalam kelompok teman sekelasnya. Pada anak laki–laki yang mengalami keterlambatan dalam kematangan seksualnya, maka bentuk tubuhnya lebih kecil dibandingkan dengan teman sekelasnya dan hal ini akan sangat tidak menguntungkan baginya, didalam pergaulan social pun mereka akan mengalami kerugian, karena pada umumnya orang dewasa dan teman–temannya akan memperlakukannya sebagai anak yang lebih kecil dan dianggap kurang cakap.
Akibat terjadinya kematangan seksual, akan terjadi percepatan pertumbuhan badan dimana pertumbuhan anggota badan lebih cepat dari pada badannya sehinga untuk sementara waktu proporsi tubuh tidak seimbang. Pada pertengahan masa remaja, mereka mulai memperhatikan apakah tubuhnya terlalu gemuk atau kurus dan bagaimana menjaga bentuk tubuh yang ideal, oleh karena itu sebagian remaja akan berusaha melakukan diet.
Selain itu kematangan seksual juga mengakibatkan remaja mulai tertarik terhadap anatomi fisiologi tubuhnya, mulai muncul kecemasan–kecemasan dan pertanyaan–pertanyaan seputar menstruasi, mimpi basah, masturbasi, ukuran buah dada, penis dan lain sebagainya. Selain tertarik kepada dirinya, juga mulai muncul perasaan tertarik kepada teman sebaya yang berlawan jenis (Soetjiningsih, 2004),

4.    Masa Klimakterium/Menopause
Menopause adalah berhentinya pola siklus menstruasi pada wanita. Ketika memasuki usia menopause, seorang wanita akan mengalami perubahan yang meliputi aspek fisik maupun psikologis. Perubahan-perubahan pada masa menopause akan mendorong seorang wanita untuk beradaptasi terhadap lingkungan psikososialnya.
Perubahan psikologis juga mempengaruhi kualitas seorang wanita dalam menjalani menopause. Perubahan yang terjadi adalah perubahan  mood, mudah tersinggung, ansietas, depresi, labilitas emosi, merasa  tidak berdaya, gangguan daya ingat, konsentrasi berkurang, sulit mengambil keputusan, dan merasa tidak berharga (Bobak, Lowdermilk, & Jensen, 2004; Glasier & Gabbie, 2005).
Selama menopause, wanita menghadapi perubahan-perubahan psikososial dalam hal  konsep diri, transisi karir (pekerjaan), seksualitas dan keluarga. Perubahan-perubahan ini dapat menimbulkan stress  yang dapat  mempengaruhi kesehatan mereka. Namun demikian, stress tidak hanya menimbulkan dampak  negatif, tetapi juga  dampak positif. Apakah  dampak itu positif atau negatif tergantung pada bagaimana seorang wanita menopause memandang dan mengendalikannya (Kuntjoro, 2002).
Selain itu, apakah wanita menganggap menopause sebagai bagian dari suatu kehidupan yang wajar dan harus dialami sebagai sesuatu yang menandakan masa kehidupan yang baru dan lebih baik, maka gejala-gejala yang berkaitan dengan menopause tidak akan terlalu berat dan tidak akan menimbulkan kekacauan dalam keluarga (Gunarsa, 2002).
Masa menopause sering bertepatan dengan keadaan menegangkan dalam kehidupan wanita seperti merawat orang tua lanjut usia, memasuki masa pensiun, anak meninggalkan rumah. Ketegangan ini dapat menimbulkan gejala fisik dan psikologis termasuk menjadi pelupa, kurang dapat memusatkan perhatian, kecemasan, mudah marah, dan depresi. Ditambah lagi suami yang semakin tua dan menjadi kurang perhatian  sehingga wanita menopause mengalami ketidaknyamanan dan kesepian yang menimbulkan ketidakstabilan emosi wanita menopause tersebut. 
Wanita menopause akan mengalami kestabilan emosi. Jika mereka mudah beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada masa menopause. Apabila seorang wanita tidak siap mental menghadapi  masa menopause dan lingkungan psikososial  tidak memberi  dukungan yang positif, maka akan berakibat tidak baik terhadap kesehatan wanita menopause tersebut (Kuntjoro, 2002).
5.    Pengaruh Faktor Psikososial dalam Masalah Kesehatan Reproduksi
1.    Faktor Psikososial Terhadap Masalah Kesehatan Remaja
a.    Perilaku Seks Pranikah pada Remaja
1)        Hubungan Peer Group Dan Lingkungan Pergaulan Dengan Sikap Terhadap Perilaku Seksual Remaja
Kelompok teman sebaya merupakan lingkungan sosial pertama di mana remaja belajar untuk hidup bersama orang lain yang bukan anggota keluarganya.Remaja menganggap teman sebayanya sebagai sesuatu hal yang penting. Remaja menganggap kelompok sebayanya memberikan sebuah dunia tempat kawula muda mulai melakukan sosialisasinya, dimana nilai-nilai yang berlaku bukanlah nilai-nilai yang ditetapkan orang dewasa melainkan oleh teman-temannya. Remaja banyak menghabiskan waktu dengan teman-teman sebayanya melebihi waktu yang mereka habiskan dengan orang tua dan anggota keluarga yang lain, Karena remaja lebih banyak berada diluar rumah bersama dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga (Hurlock, 2004).
Salah satu aspek paling kritis dalam masa remaja adalah menyangkut pergaulan, baik pergaulan dengan sesama jenis maupun pergaulan dengan lawan jenis.Jika tidak berhati-hati, pergaulan sangat berpotensi menyeret masa remaja terjerumus kedalam pergaulan yang tidak patut (Surbakti, 2009 dalam Hartati 2010).
Remaja dan dorongan seksual adalah dua hal yang sangat berhubungan erat sehingga tidak bisa dipisahkan.Hal itu disebabkan pada fase remaja, mereka umumnya memiliki dorongan seksual yang sangat kuat, sedangkan resiko akibat kegiatan seksual yang menjurus pada hubungan seks belum sepenuhnya mereka ketahui (Surbakti, 2009 dalam Hartati 2010).
Umumnya remaja lebih sering melakukan kegiatan bersama teman-temannya sebagai kelompok yang ia kenali. Pergaulan itulah pemicu awal munculnya pengaruh dari kekuatan eksternal.  Lingkungan pergaulan yang menganut nilai-nilai kebebasan dalam berinteraksi dengan lawan jenis akan ia turuti demi memperoleh pengakuan dan penerimaan dari kelompoknya. Mereka seakan merasa khawatir dan takut bila dianggap kuno atau ketinggalan zaman karena belum mencium atau berciuman dengan gadis atau pria. Berdasar pengamatan dilapangan, ternyata tidak sedikit anak yang menjadi perokok berat, peminum minuman keras atau bergaul bebas karena pengaruh perilaku teman sebaya ( Yusuf, 2004 dalam Hartati 2010).
Remaja merupakan kelompok yang mempunyai banyak resiko yang berkaitan dengan perilaku seksual sehat. Kondisi ini disebabkan adanya karakteristik yang spesifik dalam proses perkembangannya, yaitu dengan tingkat kognitif dan penalarannya telah mampu memahami dan memutuskan sesuatu secara logis, tetapi di sisi lain mendapat tekanan kelompok sebaya (peer pressure) yang membawa perilaku kurang rasional. Dalam situasi ini maka sangat besar kemungkinan remaja lebih terpengaruh oleh perilaku kelompok, sehingga menunjukkan perilaku yang mengandung resiko (risk-taking behaviour) termasuk didalamnya yang membawa resiko terjadinya pernikahan dini (Wibowo, 2004 dalam Hartati 2010).
2)        Hubungan Pemahaman Tingkat Agama dengan Perilaku Seks Pranikah pada Remaja
Remaja memerlukan kemampuan pemecahan masalah yang baik, sehingga remaja mampu menyelesaikan masalah mereka dengan efektif.Orang tua perlu memberikan bekal materi, intelektual yang berupa pendidikan formal, serta bekal spiritual yang berupa pendidikan agama bagi remaja.Pemahaman tingkat agama yang baik menghasilkan tauhid dan kepercayaan terhadap remaja untuk menghindari perilaku yang menyimpang.
Berdasarkan hasil penelitian Adawiyah (2007), ada perbedaan yang sangat signifikan antara perilaku dengan hubungan seksual pranikah antara remaja yang religiusitasnya tinggi dengan remaja yang religiusitasnya rendah. Remaja yang religiusitasnya tinggi menunjukkan perilaku terhadap hubungan seksual pranikah rendah (menolak), sedangkan remaja yang religiusitasnya rendah menunjukkan  perilaku terhadap hubungan seksual pranikah tinggi (menerima).
Pemahaman tingkat agama mempunyai pengaruh terhadap perilaku seks pranikah remaja, orang yang agamanya baik maka akan memiliki rasa takut untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dan dilarang dalam agamanya (Putri, 2007 ).
3)        Hubungan Peran Keluarga dengan Perilaku Seks Pranikah pada Remaja
Orang tua adalah tokoh penting dalam perkembangan identitas remaja.Orang tua dapat membangun hubungan dan merupakan sistem dukungan ketika remaja menjajaki suatu dunia sosial yang lebih luas dan lebih kompleks.  Hubungan orang tua yang harmonis akan menumbuhkan kehidupan emosional yang optimal terhadap perkembangan kepribadian remaja dan sebaliknya, orang tua yang sering bertengkar akan menghambat komunikasi dalam keluarga, dan remaja akan melarikan diri dari keluarga.
Keluarga yang tidak lengkap misalnya karena perceraian, kematian, dan keluarga dengan keadaan ekonomi yang kurang, dapat mempengaruhi perkembangan jiwa remaja.Dalam hal komunikasi orang tua dengan remaja, remaja seringkali merasa tidak nyaman atau tabu untuk membicarakan masalah seksualitas dan kesehatan reproduksinya (Syafrudin, 2008 dalam darmasih, 2009).
Remaja lebih senang menyimpan dan memilih jalannya sendiri tanpa berani mengungkapkan kepada orang tua. Hal ini disebabkan karena ketertutupan orang tua terhadap anak terutama masalah seks yang dianggap tabu untuk dibicarakan serta kurang terbukanya anak terhadap orang tua karena anak merasa takut untuk bertanya (Dhede, 2002 dalam darmasih, 2009).
Komunikasi antara orang tua dengan remaja dikatakan berkualitas apabila kedua belah pihak memiliki hubungan yang baik dalam arti bisa saling memahami, saling mengerti, saling mempercayai dan menyayangi satu sama lain, sedangkan komunikasi yang kurang berkualitas mengindikasikan kurangnya perhatian, pengertian, kepercayaan dan kasih sayang di antara keduanya (Hopson, 2002 dalam Darmasih, 2009 ).
Menurut Soetjiningsih (2006), bahwa makin baik hubungan orang tua dengan anak remajanya, makin baik perilaku seksual pranikah remaja.Hubungan orang tua remaja, mempunyai pengaruh terhadap perilaku seksual pranikah remaja.Remaja yang melakukan hubungan seksual sebelum menikah banyak diantaranya berasal dari keluarga yang bercerai atau pernah cerai, keluarga dengan banyak konflik dan perpecahan.

2.    Faktor Psikososial terhadap Masalah Kesehatan Reproduksi Ibu
a.         Peran Psikososial dan Kurang Gizi pada Ibu Hamil terhadap Kejadian BBLR dan Kelahiran Prematur
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Calvin Hobel pada tahun 2003, mengemukakan bahwa stress psikososial dan kurang gizi pada ibu hamil dapat mempengaruhi kehamilan sehingga mengakibatkan terjadinya resiko BBLR dan kelahiran prematur. Stress pada ibu hamil meliputi stress hidup, stress akibat aktivitas pekerjaan dan stress yang berhubungan dengan kecemasan ibu terhadap kehamilan. Menurut penelitian tersebut bahwa stress yang paling berpengaruh terhadap kejadian BBLR dan kelahiran prematur adalah stress akibat kecemasan dalam kehamilan dan waktu paparan stress yang sangat beresiko dalam menimbulkan kejadian tersebut adalah stress pada awal kehamilan.
b.        Kecemasan Dalam Menghadapi Persalinan pada Ibu Hamil
Kecemasan  merupakan  suatu  pengalaman  emosional  yang  timbul  karena  adanya ancaman yang tidak jelas penyebabnya, baik yang berasal dari luar maupun dari dalam individu. Kehamilan  merupakan  salah  satu  sumber  kecemasan.  Kecemasan  yang  mengganggu  wanita hamil adalah cemas  terhadap kesehatan badannya, kematian yang mungkin akan menimpanya, keadaan  yang  kurang  menguntungkan  menjelang  persalinan  (misalnya  tidak  dapat  berada  di rumah sakit pada waktunya) dan takut akan rasa sakit pada waktu melahirkan.
Disamping itu ada kecemasan  yang  secara  tidak  langsung  berhubungan  dengan  kehamilan  misalnya,  kesulitan perumahan, kesulitan ekonomi, kesulitan perkawinan, kurangnya perhatian  terutama dari suami (Hasibuan & Simatupang, 1999 dalam Maharani, 2008).
Menurut penelitian yang dilakukan Triana Indri Maharani (2008) wanita hamil dengan dukungan  sosial  yang  rata-rata  tinggi memiliki tingkat kecemasan  dalam menghadapi persalinan yang rata-rata rendah. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan Sri Yuni Tursilowati dan Eka  Sulistyorini (2007) yang menyatakan bahwa ada pengaruh yang bermakna antara peran serta suami terhadap tingkat kecemasan ibu hamil dalam menghadapi proses persalinan.Tingkat kecemasan yang rendah  dapat membuat perjalanan kehamilan ibu semakin lancar dan aman sehingga proses persalinan mudah dan dapat meningkatkan produksi ASI, kesiapan ibu hamil dan hilangnya rasa takut saat menghadapi persalinan.
Handayani (dalam Maharani, Triana 2008)  berpendapat  bahwa  dengan  hadirnya  janin  di  dalam  rahim, maka  hal  itu akan mempengaruhi emosi si ibu. Apabila pengaruh emosi  ibu  tidak didukung oleh  lingkungan keluarga  yang  harmonis  ataupun  lingkungan  tempat  tinggal  yang  kondusif, maka  hal  ini  akan mengganggu masa kehamilan. Untuk mencegah  hal  tersebut  terjadi, maka  dukungan  sosial  untuk  ibu  hamil  sangatlah penting.  Menurut  Suryaningsih  (2007),  dukungan  sosial  ini  banyak  diperoleh  individu  dari lingkungan sekitar, dalam hal  ini  lingkungan yang  terdekat adalah pasangan atau suami. Sudah selayaknya pasangan memberikan semangat dan perhatian kepada istri.Dengan begitu, istri bisa kuat secara mental untuk menghadapi segala hal di masa kehamilannya.
Peran serta suami dalammenghadapi proses pesalinan diantaranya bersiaga untuk mempersiapkan dana yang ekstra baik untuk saat kehamilan maupun saat pesalinan tiba, mengingatkan dan memberi kesempatan ibu hamil untuk beristirahat dengan cukup, sehingga suami pada saat ini harus berlapang dada apabila suami harus melakukan kegiatan yang biasa dilakukan oleh istri atau apabila istri tidak dapat melayani kebutuhan dengan baik seperti biasanya suami bisa memakluminya.
Saat hamil juga merupakan saat sensitif bagi seorang wanita. Jadi, sebisa mungkin suami harus dapat menciptakan suasana yang mendukung perasaan istri, misalnya mengajak jalan-jalan ringan sambil mengobrol, bicara halus, positifdan  sebagainya.  Ini  akan membuat  istri merasa nyaman,  selain  itu  juga  semakin mempererat  hubungan  suami-istri. Menemani  istri  ke dokter untuk pemeriksaan kehamilan juga tak kalah penting. Ada baiknya suami juga membaca literatur tentang  kehamilan  danbukan bersikap masa bodoh, yang akan menyebabkan munculnya perubahan emosi yang tidak menyenangkan pada sang istri (Maharani, 2008).
c.         Faktor Psikososial Terhadap kejadian Depresi Pasca Melahirkan
Depresi Pasca Melahirkan (DPM) adalah salah satu bentuk depresi mayor yang dialami ibu yang melahirkan bayi pertama dan berlangsung pada tahun pertama setelah kelahiran bayi. Hal ini dikarenakan periode pasca melahirkan bayi pertama merupakan periode transisi kehidupan baru yang cukup membuat stress, dan tidak hanya pada ibu baru melainkan juga dengan ayah baru. Terdapat 3 bentuk depresi yang berkaitan dengan stress pasca melahirkan, yaitu postpartum blues, postpartum depression, dan postpartum psychosis.
1.      Postpartum blues
Postpartum blues sering dikenal sebagai babyblues. Ibu yang mengalami babyblues seringkali menangis secara terus menerus tanpa sebab yang pasti dan mengalami kecemasan, keadaan ini berlangsung pada minggu pertama setelah melahirkan dan akan kembali normal setelah dua minggu tanpa penanganan khusus, jadi yang dibutuhkan adalah menentramkan dan membantu ibu baru dalam mengasuh bayi dan melakukan pekerjaan rumah.
2.      Postpartum depression
Postpartum depression (DPM) merupakan kondisi yang lebih serius dari babyblues syndrome (BBS)jika setelah dua minggu BBS tidak hilang maka kemungkinan ibu mengalami DPM. Ibu dengan DPM akan mengalami perasaan sedih dan emosi yang meningkat atau merasa tertekan, menjadi sensitif, lelah, perasaan bersalah, cemas dan ketidakmampuan untuk merawat diri dan merawat bayi. Gejala DPM muncul sejak beberapa hari setelah melahirkan dan dapat berlangsung hingga setahun setelah melahirkan.
3.      Postpartum psychosis
Kondisi ini merupakan bentuk DPM yang parah dan membutuhkan penanganan medis segera. Gejalanya meliputi agitasi yang amat kuat, perilaku yang menunjukkan kebingungan, perasaan hilang harapan dan malu, insomnia, halusinasi dan hiperaktif. Penanganan medis harus dilakukan sesegera  mungkin dengan memasukkan penderita ke Rumah Sakit karena kondisi ini biasanya disertai resiko bunuh diri atau menyakiti bayi.
Banyak faktor yang menjadi penyebab DPM, antara lain :
1.      Faktor biologis
Faktor biologis yang menjadi penyebab DPM yaitu meliputi mengalami disfungsi kelenjar tiroid, masalah kesuburan dan pernah mengalami keguguran.
2.      Faktor psikologis
a.         Stress yang berhubungan dengan peran sebagai ibu seperti memikirkan kesehatan bayi, stress pengasuhan bayi, perasaan tidak siap menjadi orangtua,serta kurangnya pengetahuan tentang cara-cara menangani bayi.
b.        Sejarah masa kecil ibu seperti kekerasan fisik, emosional atau seksual pada masa kecil, kehidupan keluarga yang tidak harmonis, kehamilan yang tidak diharapkan.
c.         Ketidakbahagiaan pernikahan , jika pernikahan tidak bahagia atau hubungan dengan pasangan kurang bahagia seperti gangguan hubungan dengan suami selama periode kehamilan, komunikasi terhambat, perbedaan nilai dan ketidaksesuaian keinginan.
3.      Faktor sosial
Faktor sosial yang menjadi penyebab DPM meliputi dukungan sosial dan emosional terutama dari pasangan karena ibu yang baru melahirkan sedang mengalami masa transisi menjadi seorang ibu sehingga membutuhkan bantuan dan dukungan sebelum dan selama kehamilan serta setelah kelahiran bayi. Selain itu, status sosial ekonomi yang rendah seperti tidak bekerja, menjadi orangtua tunggal atau bercerai, tingkat pendidikan yang rendah juga dapat menjadi faktor penyebab DPM. Tekanan pada ibu yang mengalami kesulitan menyusui atau tidak mau menyusui bayinya juga dapat menjadi faktor penyebab seorang ibu mengalami DPM.
Menurut penelitian yang dilakukan Roswiyani (2003) stress selama periode kehamilan dan melahirkan berpotensi mengakibatkan munculnya gangguan DPM, potensi ini dapat menjadi lebih besar apabila disertai dengan ketidakbahagiaan pernikahan, karena ketidakbahagiaan pernikahan berpeluang menimbulkan kesenjangan komunikasi dengan suami, serta kurangnya afeksi suami terhadap istri, padahal dukungan suami terhadap istri selama periode kehamilan dan melahirkan merupakan aspek yang amat penting.
Ibu yang mengalmi DPM cenderung diliputi perasaan sedih sehingga menjadi kurang peka untuk memberikan efek positif pada bayinya, hal tersebut dapat berakibat buruk terhadap bayi seperti gangguan psikopatologis dan keterlambatan perkembangan bayi, bayi-bayi dari ibu yang mengalami DPM cenderung mengalami gangguan orientasi, gangguan tidur dan beberapa jenis gangguan fisik lain disamping hambatan perkembangan verbal, gangguan perilaku dan keterlambatan perkembangan skolastik (clark, et all, 2003).
3.    Faktor Psikososial terhadap Masalah Kesehatan Reproduksi Lansia
a.      Masalah Adaptasi Psikososial Wanita Menopause
Ketika memasuki masa menopause, seorang wanita akan mengalami berbagai gejolak atau perubahan yang meliputi aspek fisik maupun psikologis yang dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan wanita tersebut. Ketidaknyamanan akibat perubahan fisik dapat berupa rasa kaku dan linu secara tiba-tiba di sekujur tubuh, hot flush, kelelahan, sakit kepala, berdebar-debar (Hurlock, 1992 dalam Kuntjoro, 2002). Selain itu, gejala psikologis yang menonjol ketika menopause adalah mudah tersinggung, sukar tidur, tertekan, gugup, kesepian, cemas dan depresi (Nugroho, 2000; Kuntjoro, 2002).
Gejala-gejala yang kurang menyenangkan yang dialami wanita menopause akibat perubahan fisik dan psikologis, sangat mempengaruhi kualitas hidup mereka. Pengetahuan yang cukup akan membantu mereka memahami dan mempersiapkan dirinya menjalani masa menopause dengan lebih baik (Kuntjoro, 2002).
Reitz (1993) menyatakan banyaknya keluhan yang dirasakan wanita pada masa menopause baik fisik  maupun psikologis tidak boleh dianggap ringan karena dapat menyebabkan stres yang tinggi. Namun demikian, wanita menopause akan mengalami kestabilan emosi jika mereka mudah beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada masa menopause (Kuntjoro, 2002).
Wanita menopause pekerja memiliki peran ganda sebagai seorang istri, ibu rumah tangga, menjalankan tugas reproduksi, anggota masyarakat, dan sekaligus pencari nafkah, dalam menjalankan peran tersebut sering mengalami stres.Sebagai pencari nafkah, wanita menopause pekerja sering mengalami stres yang bersumber dari lingkungan kerja. Stres tersebut dapat terjadi karena beberapa alasan antara lain, tuntutan kerja, tanggung jawab kerja, lingkungan fisik kerja, hubungan antarmanusia yang buruk, kurang pengetahuan dan peningkatan jenjang karir serta rasa kurang aman dalam kerja (Hardjana, 1994 dalam Simanjuntak 2007).
Berdasarkan penelusuran literatur tersebut, diasumsikan bahwa pada kondisi faktor-faktor pengaruh yang sama (sosial ekonomi budaya, pendidikan, ajaran agama, lingkungan dan pengetahuan tentang menopause), stres yang dialami wanita menopause pekerja lebih berat daripada wanita menopause bukan pekerja. Namun dari hasil penelitian Rugun Simanjuntak (2007) ditemukan bahwa kedua kelompok responden wanita menopause pekerja dan bukan pekerja berada dalam rentang adaptasi psikososial yang positif, artinya tidak ada perbedaan adaptasi psikososial antara wanita-wanita menopause pekerja dan bukan pekerja, sedangkan menurut penelitian yang dilakukan Indri Arsia (2006) menunjukkan bahwa pada ibu tidak bekerja memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi dari ibu bekerja dalam menghadapi menopause, tingkat kecemasan tersebut dipengaruhi oleh pengetahuan, wawasan dan aktivitas yang dijalani oleh wanita usia dewasa madya.












BAB IV
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Psikososial adalah menyangkut aktivitas atau masalah sosial yang timbul sehubungan dengan faktor psikologis atau proses mental. Adaptasi psikososial adalah cara individu untuk menyesuaikan status mental dan emosionalnya terhadap perubahan-perubahan yang terjadi didalam lingkungan sosialnya.
Kesehatan reproduksi adalah keadaan sehat jasmani, rohani dan bukan hanya terlepas dari ketidakhadiran penyakit atau kecacatan semata, yang berhubungan dengan sistem, fungsi dan proses reproduksi. Adaptasi psikososial terhadap tahapan kehidupan reproduksi manusia berupa fase prenatal (ketidakpastian, ambivalen, perubahan seksual), fase postnatal (depresi pasca melahirkan pada ibu/DPM), masa remaja (kecemasan pubertas, kenakalan remaja, NAPZA, dll), dan masa klimakterium/menopause.
Beberapa faktor psikososial terkait permasalahan kesehatan reproduksi remaja antara lain; hubungan teman sebaya dan lingkungan pergaulan dengan sikap perilaku seksual remaja, adanya hubungan pemahaman tingkat agama dengan perilaku seks pranikah pada remaja, serta peran keluarga terhadap perilaku seks pranikah remaja.
Faktor psikososial terhadap kesehatan reproduksi ibu antara lain dikarenakan karena; kecemasan menghadapi persalinan yang sering dialami oleh ibu/calon ibu, adanya kejadian depresi pada ibu pasca melahirkan atau biasa disebut dengan DPM (postpartum blues, postpartum depression, dan postpartum psychosis). Selain itu, ketika wanita memasuki usia 40-50 tahun dan mengalami menopause, seorang wanita akan mengalami berbagai gejolak atau perubahan yang meliputi aspek fisik maupun psikologis yang dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan wanita tersebut.



DAFTAR PUSTAKA
Adawiyah R. 2007. Perbedaan Perilaku Terhadap Hubungan Seksual Pranikah Ditinjau Dari Religiusitas.
http://etd.library.ums.ac.id/go.php?id=jtptumsgdl-s1-2007-rabiatulad-5614. Diakses pada tanggal 3 April 2012.

Arsia, Indri. Perbedaan Tingkat Kecemasan pada Wanita Usia Dewasa Madya dalam Menghadapi Menopause antara Ibu Bekerja dengan Ibu Tidak Bekerja.library@lib.unair.ac.id : Diakses pada tanggal 3 April 2012.

Atmadibrata, B. P. 2005. Punya Bayi kok, malah sedih.Femina, Agustus, 32, 76-77.

Baihaqi, MIF., Sunardi, Akhlan, R.N.R., Heryati, E. 2005. Psikitari (Konsep Dasar dan Gangguan-gangguan).PT. Refika Aditama. Bandung

Bobak, Lowdermilk, & Jensen. (2005). Buku Ajar Keperawatan Maternitas Edisi 4 Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Clark, R, Tluczek (2003) Psychotherapy for postpartum depression. American Journal of Orthopsychiatry.

Darmasih, Ririn. (2009). Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seks Pranikah pada Remaja SMA di Surakarta.UMY : Surakarta.

Feldman, Robert S. 2003. Essential of Understanding Psychology, Fifth Edition. McGraw-Hill, Inc. New York.

Gunarsa, Dr Singgih D.2002 ,Psikologi Perkembangan. PT BPK Gunung Mulia, Jakarta.

Harahap, Juliandi. (2003). Kesehatan Reproduksi. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Hartati, Dwi. (2010) Hubungan Peer Group dan Lingkungan Pergaulan dengan Sikap Terhadap Perilaku Seksual Pranikah pada Mahasiswa S1.UMS : Surakarta.

Hobel, C. 2003. Role of Psychosocial and Nutritional Stress on Poor Pregnancy Outcome.Departement of Obstetrics and Gynekology. Los Angeles.

ICPD, 1994, Definisi Kesehatan Reproduksi Remaja.http://situs.kespro.info/krr/referensi2, htm.

Imelda, J.D. 2004. Kesehatan dan Hak Reproduksi.
I.M.Hidayana, Seksualitas Teori dan Realitas. Program Gender dan Seksualitas FISIP UI bekerjasama dengan Ford Foundation.

Kasdu, Z. (2002). Psikologi wanita (terjemahan). Bandung: PustakaHidayah.

Kuntjoro Z, 2002. Dukungan Sosial Pada Lansia.http://www.e-psikologi.co.id  Tanggal akses: 3 April 2012.

Maharani, Triana.(2008). Hubungan Antara Dukungan Sosial dan Kecemasan dalam Menghadapi Persalinan pada ibu Hamil Trisemester III. Universitas Gunadarma. Depok.

Murray, Sharon Smith & Emily Slone McKinney. (2007).Foundations of Maternal-Newborn Nursing 4thEdition. Singapore: Saunders.

Narendra, M. B. 2003. Penilaian Pertumbuhan dan Perkembangan Anak. Jakarta: EGC.

Papilia E. D, et al. (2008). Human Development.Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Putri M. A. 2007. Hubungan Antara Pengetahuan Seksualitas Dan Religiusitas Dengan Intensi Perilaku Seksual Pranikah Pada Mahasiswi http://etd.library.ums.ac.id/go.php?id=jtptums-gdl-s1-2007-citraanggi-4378.Diakses pada tanggal 3 April 2012.

Romauli, dkk. 2009. Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta: Nuha Medika.

Simanjuntak, Rugun. (2007). Adaptasi Psikososial Wanita Menopause Pekerja dan Bukan Pekerja di Kecamatan Percuit.USU.

Soetjiningsih dkk. 2004. Buku Ajar: Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. Jakarta : Sagung Seto.

Swasono, M. H. (2005). Menopause peristiwa alami yang menguntungkan perempuan.Dibuka pada 4April 2012 darihttp://www.suarakaryaonline.com/news.html?category_name=wanita.