Rabu, 09 Mei 2012

PROPOSAL MAGANG SAYA


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Kegiatan magang merupakan pelaksanaan dari salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi yang bertujuan untuk memfasilitasi mahasiswa dalam mengaplikasikan pengetahuan yang didapat selama perkuliahan ke dalam dunia kerja, kegiatan magang dilaksanakan setiap tahun oleh mahasiswa semester VII, kegiatan magang berarti melaksanakan apa yang menjadi fungsi, tugas, kewajiban, dan pekerjaan pokok dari institusi tempat magang yang relevan dengan keilmuan kesehatan masyarakat sehingga mahasiswa peserta magang diharapkan dapat membantu memecahkan masalah kesehatan yang mungkin sedang dihadapi oleh institusi magang tersebut.
Bidang Keilmuan Kesehatan Masyarakat yang dipelajari di Jurusan Kesehatan Masyarakat Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) meliputi Analisis Kebijakan Kesehatan, Promosi Kesehatan, Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Kesehatan Reproduksi, Gizi, Epidemiologi, Kesehatan Lingkungan, dan Biostatistik. Institusi yang menjadi tempat magang merupakan institusi yang memiliki fungsi, tugas, kewajiban, dan pekerjaan pokok yang relevan dengan bidang ilmu kesehatan masyarakat salah satunya adalah Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP) Salatiga yang memiliki fungsi dan tugas untuk memecahkan masalah-masalah dalam pemberantasan penyakit bersumber binatang sehingga B2P2VRP dapat menjadi tempat magang dalam pembelajaran di bidang keilmuan Epidemiologi.
Program di B2P2VRP salatiga antara lain memetakan resistensi vektor Malaria dan Demam Berdarah Dengue (DBD), merekomendasikan insektisida yang tepat guna dan sasaran, merekomendasikan metode pengendalian yang tepat guna dan sasaran. Sarana yang digunakan dalam menunjang program dan kegiatan yang ada di B2P2VRP terdiri atas beberapa laboratorium yaitu laboratorium Biologi molekuler, laboratorium Mikrobiologi, laboratorium Parasitologi, Insects Breeding House, laboratorium penguji efikasi, laboratorium pengendalian hayati, laboratorium SIG (Sistem Informasi Geografis) dan Epidemiologi, laboratorium reservoir, laboratorium koleksi referensi, laboratorium lalat dan lipas, laboratorium Parasitologi dan laboratorium resistensi.
Pemberantasan penyakit bersumber binatang merupakan bidang kajian Epidemiologi penyakit menular, tikus merupakan salah satu binatang yang dapat menyebabkan penyakit dengan perannya sebagai reservoir beberapa penyakit, tikus juga merupakan hewan yang hidup disekitar manusia sehingga banyak ditemui kasus penyebaran penyakit oleh tikus pada manusia oleh karena itu diperlukan metode pengendalian tikus sebagai upaya dalam pemberantasan penyakit yang disebabkan oleh tikus sehingga pemberantasan tikus juga merupakan salah satu bidang kajian di B2P2VRP Salatiga.
 Leptospirosis merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh tikus, reservoir  yang memegang peran utama bagi penyebaran Leptospira ke manusia adalah hewan pengerat terutama tikus, iklim yang cocok untuk perkembangan Leptospira adalah udara yang hangat, tanah yang lembab atau basah dan pH alkalis. Keadaan yang demikian dapat dijumpai di negara tropik sepanjang tahun oleh karena itu Leptospirosis tersebar baik di Indonesia (Widarso, 2002).
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah pada Tahun 2011 sebanyak 115 warga terkena Leptospirosis dan 23 diantaranya meninggal dunia, jumlah tersebut meningkat dibandingkan Tahun 2010 yaitu sebanyak 133 kasus dan 14 diantaranya meninggal dunia, korban meninggal pada Tahun 2011 terbanyak terjadi di kota Semarang yang mencapai 21 korban, tercatat 67 kasus Leptospirosis menjangkiti kota semarang hingga November 2011 (Suaramerdeka.com, 2012).

B.     Perumusan masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan, dapat diambil perumusan masalah sebagai berikut. Bagaimana pelaksanaan program pengendalian tikus sebagai salah satu upaya penanggulangan Leptospirosis di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP) Salatiga ?.



C.    Tujuan

1.      Tujuan Umum

Mengenal dan mampu untuk melaksanakan latihan kerja serta mampu untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan kerja, khususnya dalam program pengendalian tikus sebagai salah satu upaya penanggulangan Leptospirosis di B2P2VRP Salatiga.
2.      Tujuan Khusus
a.       Mahasiswa mampu mengumpulkan informasi yang relevan sehingga dapat memberikan analisis situasi umum di B2P2VRP Salatiga.
b.      Mengetahui siklus hidup dan bionomik tikus
c.       Mempelajari pelaksanaan program pengendalian tikus sebagai upaya penanggulangan Leptospirosis.

D.    Manfaat
1.    Bagi B2P2VRP Salatiga
a.    B2P2VRP Salatiga dapat memanfaatkan tenaga magang sesuai dengan kebutuhan di unit kerjanya.
b.    Laporan magang dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber informasi mengenai situasi umum mengenai institusi tempat magang.
2.    Bagi Jurusan Kesehatan Masyarakat
a.    Memperoleh informasi tentang kondisi nyata di dunia kerja yang berguna bagi peningkatan kualitas lulusan Jurusan Kesehatan Masyarakat.
b.    Menjalin kerja sama dengan institusi magang sehingga dapat mendukung pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
3.    Bagi Mahasiswa
a.       Mendapatkan pengalaman nyata dalam bekerja di institusi yang sesuai dengan spesifikasi bidang ilmu.
b.      Mendapatkan pengalaman nyata yang terkait dengan program pengendalian tikus sebagai salah satu upaya penanggulangan Leptospirosis.
c.       Mendapatkan kesempatan mengaplikasikan teori pengendalian pengendalian tikus sebagai salah satu upaya penanggulangan Leptospirosis di B2P2VRP Salatiga.












BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.  Tikus
1.      Toksonomi Tikus
Toksonomi tikus adalah sebagai berikut :
Dunia              : Animalia
Filum               : Chordata
Sub Filum        : Vertebrata
Kelas               : Mammalia
Subklas            : Theria
Ordo                : Rodentia
Sub ordo         : Myomorpha
Famili              : Muridae
Sub famili        : Murinae
Genus              : Bandicota, Rattus, dan Mus
Spesies             : spesies tikus dapat dilihat pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 Spesies Tikus
Bandicota
Rattus
Mus
Bandicota indica
Rattus norvegicus
Mus musculus
Bandicota bengalensis
Rattus rattus diardii
Mus caroli

Rattus tiomanicus


Rattus argentiventer


Rattus exulants

Sumber : Depkes RI, 2008


Ordo Rodentia merupakan ordo yang terbesar dari kelas Mamalia karena memiliki jumlah spesies yang terbanyak yaitu ±2.000 spesies atau 40% dari 5.000 spesies untuk seluruh kelas Mamalia. Spesies tikus yang ada di Indonesia kurang lebih sebanyak 160 spesies dari 2.000 spesies Rodentia dan dari 160 spesies tersebut hanya 9 spesies yang paling berperan sabagai hama tanaman, permukiman dan vektor patogen pada manusia dan dari 9 spesies tersebut hanya empat yang paling berperan sebagai hama penting di daerah permukiman. Keempat spesies itu dapat dilihat pada Gambar 2.1  yaitu Mus musculus, Bandicota bengalensis, Rattus rattus diardii, dan Rattus norvegicus (Depkes RI, 2008).
a.    Mus musculus                                    b. Bandicota bengalensis
 





b.    Rattus rattus diardii                           c. Rattus norvegicus

Gambar 2.1 Spesies Tikus di Indonesia
Sumber : Depkes RI, 2008


Berdasarkan habitatnya, tikus dapat dibagi menjadi 2 macam yaitu (Priyambodo, 2006):
a.       Tikus yang Bersifat Terestrial
Tikus terestrial memiliki ciri-ciri ekor relatif pendek terhadap kepala dan badan, serta tonjolan pada telapak kaki yang relatif kecil dan halus yang dapat dilihat pada Gambar 2.2, tikus yang bersifat terestrial antara lain tikus wirok (Bandicota indica dan Bandicota bengalensis),  tikus riul (Rattus norvegicus), tikus sawah (Rattus argentiventer), mencit ladang (Mus caroli).
Tikus teresterial akan segera menggali tanah jika diberi kesempatan.  Penggalian ini bertujuan untuk membuat sarang yang biasanya tidak melebihi kedalaman 50 cm.  R. norvegicus mampu menggali melebihi kedalaman 200 cm pada tanah-tanah yang gembur. Sistem sarang di dalam tanah sering diperpanjang oleh tikus dengan membuat lorong-lorong tambahan yang saling berhubungan dengan beberapa pintu alternatif, terutama bila populasinya meningkat.
b.        Tikus yang Bersifat Arboreal
Tikus yang bersifat arboreal memiliki ciri-ciri ekor yang panjang daripada kepala hingga badannya, serta tonjolan pada telapak kaki yang besar dan kasar yang dapat dilihat pada Gambar 2.2, tikus yang bersifat arboreal antara lain tikus pohon (Rattus tiomanicus), tikus rumah (Rattus rattus diardii), tikus ladang (Rattus exulans), mencit rumah (Mus musculus)tikus pohon (Rattus tiomanicus).
Tikus yang bersifat arboreal mampu memanjat pohon, memanjat permukaan tembok yang kasar, berjalan pada seutas kawat, dan turun dari suatu ketinggian dengan kepala menuju ke bawah tanpa mengalami kesulitan. Kemampuan tikus yang bersifat arboreal dalam memanjat ditunjang oleh adanya tonjolan pada telapak kaki yang disebut dengan footpad.  Tonjolan tersebut berukuran lebih besar dan permukaannya lebih kasar dibandingkan dengan tikus teresterial yang kurang pandai memanjat.  Footpad masih ditambah dengan cakar yang berguna untuk memperkuat pegangan, serta ekor sebagai alat keseimbangan pada saat memanjat. 
 








Gambar 2.2 karakteristik Kaki Tikus Arboreal dan Terestrial
 Sumber : Depkes RI, 2008









2.      Morfologi
Beberapa ciri morfologi kualitatif dan kuantitatif dari keempat jenis tikus yang menjadi hama di bidang permukiman menurut Priyambodo (2006) disajikan dalam Tabel 2.2
Tabel 2.2 Perbedaan morfologi R. rattus diardii, B. Bengalensis, R. Norvegicus, dan M. Musculus
Ciri
R. rattus diardii
B. bengalensis
R. norvegicus
M. musculus
Tekstur rambut
Agak kasar, lebih mengkilap dari tikus riul
Kasar dan panjang
Kasar dan agak panjang
Lembut dan halus
Bentuk hidung
Kerucut
Kerucut terpotong
Kerucut terpotong
Kerucut
Bentuk badan
Silindris
Silindris agak membesar ke belakang
Silindris agak membesar ke belakang
Silindris
Warna badan dorsal
Coklat hitam kelabu
Hitam
Coklat hitam kelabu
Coklat hitam kelabu
Warna badan ventral
Coklat hitam kelabu
Hitam
Coklat kelabu (pucat)
Coklat hitam kelabu
Warna ekor dorsal
Coklat gelap
Hitam
Gelap
Coklat gelap
Warna ekor ventral
Coklat gelap
Hitam
Gelap agak pucat
Coklat gelap
Bobot tubuh (gram)
60 – 300
200 – 600
150 – 600
8 – 30
Panjang ekor(mm)
120 – 250 (T > HB)
160 – 210 (T < HB)
160 – 210 (T < HB)
70 – 110
(T > HB)
Panjang total (mm)
220 – 460
360 – 510
310 – 460
125 – 210
Habitat
Gudang makanan, pemukiman manusia terutama di langit – langit
Gudang, permukiman manusia, saluran pembuangan air di perumahan (got) 
Gudang di kota – kota pelabuhan, permukiman manusia di kawasan pesisir pantai, dan saluran pembuangan air di perumahan
Gudang, permukiman manusia

Sumber: Priyambodo, 2006

3.      Reproduksi
 Tikus menurut Priyambodo (2006) merupakan hewan yang mempunyai kemampuan reproduksi yang sangat tinggi terutama bila dbandingkan dengan hewan menyusui lainnya hal ini ditunjang oleh beberapa faktor sebagai berikut:
a.         Matang seksual yang cepat yaitu antara 2-3 bulan.
b.        Masa bunting yang singkat yaitu antara 21-23 hari.
c.         Masa menyusui yang singkat yaitu selama 28 hari.
d.        Terjadi post partum oestrus yaitu timbulnya birahi kembali segera (24-48 jam) setelah melahirkan.
e.         Dapat melahirkan anak sepanjang tahun tanpa mengenal musim yang dikenal sebagai hewan poliestrus, seekor induk tikus selama setahun mampu melahirkan 3 sampai 6 kali, maksimal 12 kali.
f.         Melahirkan keturunan dalam jumlah yang banyak yaitu berkisar 6-2 ekor sedangkan untuk mencit, rerata jumlah anak 6 ekor dengan kisaran 2-12 ekor.

4.      Kemampuan Tikus
Tikus memiliki kemampuan-kemampuan khusus untuk mempertahankan hidupnya, kemampuan tersebut antara lain (BBPADI, 2009):


c.    Mencium
Indera penciuman berkembang sangat baik dengan penciumannya tikus  mampu mengenali pakan, sesama tikus, dan predator. Ketajaman penciuman juga digunakan untuk mendeteksi sekresi genitalia tikus betina dan jejak pergerakan tikus kelompoknya sehingga tikus mampu mengetahui batas-batas teritorialnya.
d.   Mendengar
Indera pendengaran memiliki dua puncak tanggap akustik (bimodal  cochlear), yaitu pada selang suara audible (suara yang dapat didengar  manusia pada rentang frekuensi 20Hz-20KHz) dan pada suara ultrasonik
(tidak dapat didengar manusia pada frekuensi >20Khz). Suara digunakan oleh tikus sebagai salah satu media komunikasi antar sesamanya.
e.    Menggali
R. norvegicus adalah binatang penggali lubang. Lubang digali untuk tempat perlindungan dan sarangnya. Kemampuan menggali dapat mencapai 2-3 meter tanpa kesulitan.
f.     Meloncat dan Melompat
Otot-otot tungkai tikus berkembang sempurna dan relatif kuat, sehingga mampu menopang mobilitas pergerakannya. R.norvegicus dewasa dapat meloncat 77 cm lebih (vertikal). Tikus got dari keadaan berhenti dapat melompat sejauh 1,2 meter. M. musculus meloncat arah vertikal setinggi 25 cm.

g.    Mengerat
Tikus menggerogoti bahan bangunan/kayu, lembaran almunium maupun campuran pasir, kapur dan semen yang mutunya rendah. Aktivitas mengerat merupakan upaya untuk mengurangi laju pertumbuhan gigi seri. Bahan yang mampu dirusak hingga 5,5 skala kekerasan geologi.
h.    Belajar dan Mengingat
Otak tikus berkembang sempurna sehingga memiliki kemampuan  belajar dan mengingat, meskipun sangat terbatas dibanding manusia. Tikus  mampu mengingat letak sarang, lokasi sumber pakan dan air, serta pakan beracun yang menyebabkan sakit dan pada percobaan laboratorium, tikus mampu belajar dan mengingat letak pintu yang menyediakan pakan.
i.      Neophobia
Tikus curiga terhadap setiap benda baru termasuk pakan di lingkungannya sehingga akan menghindari kontak dengan benda tersebut. 
j.      Jera Umpan
Sifat tikus yang enggan memakan umpan beracun tanpa didahului pemberian umpan pendahuluan (pre-baiting). Tikus yang mencicipi atau memakan sedikit umpan beracun akut dan tidak mati tetapi sakit akan mengingatnya sehingga pengumpanan lanjutan kadang mengalami kegagalan karena umpan tidak dimakan.



5.      Strategi Pengendalian Tikus
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengendalikan tikus. Secara garis besar pengendalian tikus dapat dikelompokkan dalam beberapa pendekatan yaitu:
a.       Pengendalian dengan cara kultur teknis
Prinsip dari pengendalian ini adalah membuat lingkungan yang tidak menguntungkan atau tidak mendukung bagi kehidupan dan perkembangan populasi tikus. Pengendalian ini menurut Priyambodo (2006) terdiri dari beberapa cara yaitu:
1)   Pengaturan pola tanam
2)   Pengaturan waktu tanam
3)   Pengaturan jarak tanam
4)   Penggunaan tanaman perangkap (trap crop)
b.      Pengendalian dengan cara sanitasi
Lingkungan yang bersih dan sehat merupakan senjata paling ampuh untuk memberantas tikus secara alami. Jumlah tikus sangat bergantung pada banyak tidaknya jumlah makanan dan air serta tempat persembunyian semakin banyak makanan, semakin bertambah populasi tikus. Sebaliknya, apabila jumlah makanan berkurang, populasi tikus pun ikut berkurang dengan cepat (Budiman,2007).
Berikut beberapa cara untuk menerapkan sanitasi lingkungan
1)      Penyimpanan, pengumpulan, dan pembuangan sampah dengan benar
2)      Penyimpanan bahan makanan dengan baik dan benar
3)      Konstruksi bangunan yang anti – tikus, demikian juga dengan gudang dan tempat penyimpanan barang
4)      Pemusnahan lubang atau sarang tikus dengan cara menyumbat lubang secara total (Chandra, 2007).

c.       Pengendalian dengan Cara Fisik
Pengendalian cara fisik merupakan usaha manusia mengubah faktor lingkungan fisik agar dapat menyebabkan kematian pada tikus. Pengendalian tikus secara fisik terdiri dari beberapa cara sebagai berikut (Priyambodo,2006):
1)      Suara Ultrasonik
Suara ultrasonik yaitu suara diatas batas pendengaran manusia dengan frekuensi diatas 20 kHz  dapat digunakan untuk mengusir atau mematikan tikus, suara dengan frekuensi 20 kHz dengan intensitas 98-100 desibel selama dua menit akan menyebabkan dieresis dan hipertrofi jantung tikus.
2)      Gelombang elektromagnetik
Gelombang elektromagnetik yang dapat mempengaruhi perilaku tikus telah diteliti oleh para ahli sebagai pengembangan dari alat penghasil suara ultrasonik. Gelombang elektromagnetik dapat digunakan untuk mengusir tikus dari suatu tempat. Alat ini menggunakan sumber energi listrik, gelombang elektromagnetik diharapkan dapat mengusir tikus atau menyebabkan tikus berhenti untuk makan dan berkembangbiak.
Alat-alat ini dinyatakan berbahaya bagi semua hama, mulai dari serangga sampai tikus dan mencit, tetapi tidak berbahaya bagi manusia dan hewan peliharaan karena tingginya kadar Natrium (Na) yang dikandung oleh hewan-hewan liar (hama) yang membuat hewan tersebut menjadi lebih rentan (sensitif).

d.      Pengendalian Mekanis
Pengendalian cara mekanis merupakan usaha manusia untuk mematikan atau memindahkan tikus secara langsung baik dengan menggunakan tangan atau dengan bantuan alat. Pengendalian cara ini cukup sederhana sehingga dapat dilakukan oleh semua orang tetapi membutuhkan tenaga kerja yang relatif banyak. Pengendalian tikus secara mekanis terdiri dari beberapa cara sebagai berikut (Priyambodo, 2006).
1)      Perangkap
Perangkap tikus merupakan cara pengelolaan yang paling tua, tetapi tidak banyak diteliti oleh para ahli karena dianggap kurang ilmiah. Perangkap dapat digunakan untuk mengurangi gangguan oleh tikus, terutama diaplikasikan pada saat populasi tikus rendah.
2)      Penghalang (barrier atau proofing)
Pemasangan penghalang yang digabungkan dengan sanitasi lingkungan merupakan cara yang paling efektif dan efisien untuk pengelolaan tikus dalam jangka panjang. Pemasangan penghalang atau barrier mekanis bertujuan untuk mencegah tikus memasuki suatu bangunan atau gudang. Pembuatan barier diusahakan untuk menggunakan bahan-bahan yang tidak dapat ditembus oleh keratin gigi seri tikus, misalkan seng tebal, alumanium tebal, beton, ram kawat tebal dengan diameter kurang dari 6 mm.

e.       Pengendalian secara Biotik
Pengendalian populasi tikus secara biotik dapat dilakukan dengan menggunakan parasit, patogen dan predator untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan populasi tikus dari suatu habitat. Pengendalian biotik lebih sulit dilakukan dan kurang memberikan hasil yang memuaskan. Penggunaan kucing rumah tangga sebagai hewan predator tikus tidak banyak dilakukan, kenyataannya di kota-kota besar dan kecil di dunia, populasi tikus tetap tinggi walaupun sudah diintroduksi kucing rumah namun demikian dibeberapa tempat di pedesaan kucing masih dapat digunakan untuk mengelola populasi tikus. Predator lain yang telah dicoba sebagai pemangsa tikus adalah anjing rumah, garangan, musang dan cerpelai. Penggunaan patogen misalnya cacing Trichinella spiralis juga dapat digunakan karena dapat menginfeksi otot dan usus halus tikus (Priyambodo, 2006).



f.       Pengendalian genetik
Pengelolaan secara genetik dapat dibagi menjadi dua yaitu, pelepasan individu tikus yang membawa gen perusak, misalnya gen yang dapat menurunkan ketahanan hewan terhadap suatu penyakit. Kedua adalah pelepasan individu steril atau mandul pada populasi tikus untuk menurunkan laju reproduksi. Keuntungan dari metode ini adalah tikus jantan mandul masih bisa berkompetisi dengan tikus jantan normal (subur) sehingga mampu kawin lebih sering dengan tikus betina. Percobaan di lapangan menemukan ternyata tikus jantan yang mandul banyak yang mati sebab tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan alam, tikus jantan yang mandul yang mampu bertahan hidup kalah berkompetisi dengan tikus jantan normal. Selain itu usaha untuk mensterilkan tikus jantan dalam jumlah yang besar membutuhkan biaya yang mahal dan sulit dalam pelaksanaannya (Priyambodo, 2006).

g.      Pengendalian dengan cara kimiawi.
Penggunaan bahan – bahan kimia yang dapat mematikan atau menggangu aktivitas tikus, baik aktivitas makan, minum, mencari pasangan maupun reproduksinya. Pengendalian ini dapat berupa umpan beracun (racun perut), bahan fumigan (racun nafas), repelen, atraktan (bahan penarik) dan pemandul (kemosterilan) (Priyambodo, 2006).


6.      Metode Penangkapan Tikus
Tikus yang akan diteliti di labolatorium biasanya ditangkap dengan metode life trap yaitu menangkap tikus dalam keadaan hidup, perangkap dibuat dari kawat berukuran 21 x 12 x 10 cm dan berumpan kelapa bakar, perangkap dipasang pada sore hari pukul 15.00 dan diambil keesokan harinya pada pukul 06.00, tikus yang tertangkap dimasukkan kedalam kantong kain ukuran 30 x 40 cm kemudian diberi label yang berisi tanggal penangkapan, habitat dan kode lokasi (Puslitbang Depkes RI, 2006).
 







Gambar 2.3 Perangkap Tikus Jenis Life trap
Sumber : Darmanwansyah, 2008

B.  Leptospirosis
1.      Pengertian
Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Leptospira (bentuk spiral) dapat menyerang hewan dan manusia (Depkes, 2005).
2.      Epidemiologi
Angka kejadian Leptospirosis di negara tropik lebih tinggi dibanding  dengan subtropik karena bakteri Leptospira cocok dengan udara yang hangat, tanah yang lembab dan pH alkalis yang  keadaan ini hanya terdapat di negara- negara tropik. Kejadian Leptospirosis  berhubungan   dengan   musim   hujan,  dengan meningkatnya kasus dimulai bulan Agustus, dan puncaknya bulan Oktober (Widarso, 2002). 


a.       Etiologi
Bakteri Leptospira sebagai penyebab Leptospirosis berbentuk spiral termasuk dalam ordo Spirochaetales dalam famili Leptospiraceae, genus Leptospira, serotypes dari Leptospira yang patogen sejumlah lebih dari 170  telah diidentifikasi dan hampir setengahnya terdapat di Indonesia. Leptospira hanya dapat dilihat dengan mikroskop medan gelap atau mikroskop phase kontras. Leptospira peka terhadap asam dan dapat hidup dalam air tawar selama ± 1 bulan, tetapi dalam air laut, air selokan dan air kemih yang tidak diencerkan  akan  cepat  mati (Widarso, 2002).
b.      Reservoir
Reservoir  yang memegang peran utama bagi penyebaran Leptospira ke manusia adalah hewan pengerat terutama tikus meskipun hewan peliharaan (anjing, babi, sapi, kuda, kucing, kelinci) dan hewan lain seperti kelelawar, tupai, musang juga dapat berperan sebagai  reservoir.  Beberapa serovar Leptospira memiliki keterikatan lebih khusus dengan hewan-hewan tertentu seperti L. icterohaemorrhagica dan L. copenha-geni dengan tikus, L. canicola dengan anjing, L. Pomona dengan babi, L. hardjo dengan sapi, L. gryppotyphosa  dengan  voles. Leptospira hidup dalam tubulus ginjal selama bertahun-tahun pada tubuh hewan-hewan tersebut (Levett, 2001).
c.       Masa Inkubasi
Masa inkubasi dari Leptospirosis 4-19 hari, rata-rata 10 hari (Widarso, 2002).
d.      Cara Penularan
Manusia terinfeksi Leptospira melalui kontak dengan air, tanah (lumpur), tanaman yang telah dikotori oleh air seni dari hewan - hewan penderita Leptospirosis. Bakteri Leptospira masuk  ke dalam tubuh melalui selaput lendir  ( mukosa ) mata, hidung atau kulit yang lecet dan kadang-kadang melalui  saluran cerna dari makanan yang terkontaminasi oleh urin hewan yang terinfeksi Leptospira (Widarso, 2002).
e.       Populasi yang Beresiko
Pekerja yang beresiko tinggi terinfeksi Leptospirosis antara lain pekerja irigasi, petani, pekerja laboratorium, dokter hewan, pekerja pemotongan hewan, petugas survei di hutan, penyakit ini terutama menyerang laki-laki terkait dengan pekerjaannya namun cenderung terjadi peningkatan jumlah penderita pada anak-anak di daerah perkotaan (Chin, 2000).

3.      Pengendalian Leptospirosis di Masyarakat
Pengendalian Leptospirosis terdiri dari pencegahan primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer adalah bagaimana agar orang sehat sebagai sasaran dapat terhindar dari Leptospirosis. Pencegahan sekunder sasarannya adalah orang yang sudah sakit Leptospirosis dicegah agar orang  tersebut terhindar dari komplikasi yang nantinya akan menyebabkan kematian. Prinsip kerja dan langkah pencegahan primer adalah mengendalikan agar  tidak  terjadi  kontak  Leptospira  pada  manusia  yang  meliputi (Wiharyadi, 2004) :
a.    Pencegahan Berhubungan dengan Air atau Tanah yang Terkontaminasi
Pekerja yang mempunyai risiko tinggi  terinfeksi Leptospira harus memakai pakaian khusus yang dapat melindungi kontak dengan bahan yang telah terkontaminasi.
b.    Melindungi Sanitasi Air Minum Penduduk
Melindungi Sanitasi Air Minum dilakukan dengan pengelolaan air minum yang baik, filtrasi dan dekhlorinasi untuk mencegah invasi Leptospira. pH air sawah diturunkan menjadi asam dengan pemakaian pupuk / bahan - bahan kimia, sehingga  jumlah  dan  virulensi  Leptospira  berkurang.
c.    Pemberian Vaksinasi
Vaksinasi diberikan sesuai dengan Leptospira di tempat tersebut         sehingga memberikan manfaat cukup potensial dan aman sebagai pencegahan  bagi pekerja risiko tinggi. Pencegahan dengan serum imun spesifik telah terbukti melindungi pekerja laboratorium. Vaksinasi terhadap hewan piaraan juga efektif  untuk  mencegah  Leptospirosis.
d.   Pencegahan dengan Antibiotik
Pemberian penisilin 2 juta unit  per hari selama 5 hari secara intramuskuler dianggap dapat melindungi orang-orang dianggap telah terkontaminasi oleh strain Leptospira yang  virulensinya  tinggi. Doksisiklin dapat juga digunakan untuk pencegahan.
e.    Pengendalian Hospes Perantara Leptospira
Rodent yang diduga paling poten sebagai karier Leptospira adalah tikus sehingga pemberantasan tikus diperlukan seperti penggunaan racun tikus, pemasangan jebakan, penggunaan bahan Rodentisida dan penggunaan predator  Rodent. Pencegahan agar tikus tidak masuk ke dalam rumah, sebaiknya dibuat bangunan kedap tikus dan bahan-bahan makanan yang mudah  busuk  dibuang.
f.     Usaha Promotif
Pencegahan Leptospirosis dilakukan dengan cara edukasi, dimana antara daerah satu  dengan daerah lain mempunyai serovar dan epidemi Leptospirosis yang berbeda. Leptospirosis merupakan zoonosis klasik pada binatang yang merupakan sumber infeksi utama, oleh karena itu setiap program edukasi haruslah melibatkan profesi kesehatan atau kedokteran, dokter hewan dan kelompok lembaga sosial masyarakat yang terlibat.












BAB III
METODE PELAKSANAAN KEGIATAN

A.    Rencana Kegiatan

No.
Kegiatan
Waktu
Minggu 1
Minggu 2
Minggu 3
Minggu 4
1.
Kunjungan laboratorium




2.
Pelaksanaan kegiatan di laboratorium




3.
Pengumpulan data dan informasi




4.
Penyusunan laporan sementara





B.     Lokasi Kegiatan

Kegiatan magang akan dilaksanakan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP) Jl. Hasanudin No. 123, Salatiga.

C.    Waktu Kegiatan

Kegiatan magang akan dilaksanakan pada tanggal 16 Juli-11 Agustus 2012.






DAFTAR PUSTAKA



BBPADI. 2009. Tikus Sawah. http://bbpadi.litbang.deptan.go.id. Diakses pada tanggal 14 April 2012.

Chandra, B. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: EGC.

Chin, James, 2000, Control Of Communicable Disease Manual, American Public Health Association Woshington DC

Darmawansyah. 2008. Rancang Bangun Perangkap Untuk Pengendalian Tikus Rumah (Rattus rattus diardii linn.) Pada Habitat Permukiman. IPB, Bandung.

Departemen Kesehatan RI. 2008. Pedoman Pengendalian Tikus. Jakarta : Direktorat Jenderal Penegnadalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Departemen Kesehatan RI, 2005. Pedoman Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia. Dit.jen. ppm & PL, Jakarta.

Hadisaputro S.,  Faktor-faktor Risiko Leptospirosis,  Kumpulan Makalah
Simposium Leptospirosis,  Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2002.


Levett , Leptospirosis, Clinical Microbiology Reviews, 2001, pp: 296-326.
Priyambodo, Swastiko. 2006. Hama Pemukiman Indonesia (Pengenalan, Biologi, Pengendalian). IPB unit kajian pengendalian hama pemukiman fakultas kedokteran hewan. Bogor.
Puslitbang Depkes RI, 2006, Survey Cepat KLB Gempa di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah : Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi dan Status Kesehatan

Widarso HS dan Wilfried P.,  Kebijaksanaan Departemen Kesehatan dalam Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia, Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2002

Wiharyadi  D.,  Faktor-faktor Risiko Leptospirosis Berat di Kota Semarang, Tesis, Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Undip Semarang, 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar