BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Kegiatan
magang merupakan pelaksanaan dari salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi yang
bertujuan untuk memfasilitasi mahasiswa dalam mengaplikasikan pengetahuan yang
didapat selama perkuliahan ke dalam dunia kerja, kegiatan magang dilaksanakan
setiap tahun oleh mahasiswa semester VII, kegiatan magang berarti melaksanakan
apa yang menjadi fungsi, tugas, kewajiban, dan pekerjaan pokok dari institusi
tempat magang yang relevan dengan keilmuan kesehatan masyarakat sehingga
mahasiswa peserta magang diharapkan dapat membantu memecahkan masalah kesehatan
yang mungkin sedang dihadapi oleh institusi magang tersebut.
Bidang
Keilmuan Kesehatan Masyarakat yang dipelajari di Jurusan Kesehatan Masyarakat
Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) meliputi Analisis Kebijakan Kesehatan,
Promosi Kesehatan, Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Kesehatan Reproduksi, Gizi,
Epidemiologi, Kesehatan Lingkungan, dan Biostatistik. Institusi yang menjadi
tempat magang merupakan institusi yang memiliki fungsi, tugas, kewajiban, dan
pekerjaan pokok yang relevan dengan bidang ilmu kesehatan masyarakat salah
satunya adalah Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir
Penyakit (B2P2VRP) Salatiga yang memiliki fungsi dan tugas untuk memecahkan
masalah-masalah dalam pemberantasan penyakit bersumber binatang sehingga
B2P2VRP dapat menjadi tempat magang dalam pembelajaran di bidang keilmuan
Epidemiologi.
Program
di B2P2VRP salatiga antara lain memetakan resistensi vektor Malaria dan Demam
Berdarah Dengue (DBD),
merekomendasikan insektisida yang tepat guna dan sasaran, merekomendasikan
metode pengendalian yang tepat guna dan sasaran. Sarana yang digunakan dalam
menunjang program dan kegiatan yang ada di B2P2VRP terdiri atas beberapa
laboratorium yaitu laboratorium Biologi molekuler, laboratorium Mikrobiologi,
laboratorium Parasitologi, Insects Breeding House, laboratorium penguji
efikasi, laboratorium pengendalian hayati, laboratorium SIG (Sistem Informasi
Geografis) dan Epidemiologi, laboratorium reservoir, laboratorium koleksi
referensi, laboratorium lalat dan lipas, laboratorium Parasitologi dan laboratorium
resistensi.
Pemberantasan penyakit bersumber
binatang merupakan bidang kajian Epidemiologi penyakit menular, tikus merupakan
salah satu binatang yang dapat menyebabkan penyakit dengan perannya sebagai
reservoir beberapa penyakit, tikus juga merupakan hewan yang hidup disekitar
manusia sehingga banyak ditemui kasus penyebaran penyakit oleh tikus pada
manusia oleh karena itu diperlukan metode pengendalian tikus sebagai upaya
dalam pemberantasan penyakit yang disebabkan oleh tikus sehingga pemberantasan
tikus juga merupakan salah satu bidang kajian di B2P2VRP Salatiga.
Leptospirosis merupakan salah satu penyakit
yang disebabkan oleh tikus, reservoir
yang memegang peran utama bagi penyebaran Leptospira ke manusia adalah hewan
pengerat terutama tikus, iklim yang cocok untuk perkembangan Leptospira adalah
udara yang hangat, tanah yang lembab atau basah dan pH alkalis. Keadaan yang
demikian dapat dijumpai di negara tropik sepanjang tahun oleh karena itu
Leptospirosis tersebar baik di Indonesia (Widarso, 2002).
Berdasarkan
data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah pada Tahun 2011 sebanyak 115 warga
terkena Leptospirosis dan 23 diantaranya meninggal dunia, jumlah tersebut
meningkat dibandingkan Tahun 2010 yaitu sebanyak 133 kasus dan 14 diantaranya
meninggal dunia, korban meninggal pada Tahun 2011 terbanyak terjadi di kota
Semarang yang mencapai 21 korban, tercatat 67 kasus Leptospirosis menjangkiti
kota semarang hingga November 2011 (Suaramerdeka.com, 2012).
B.
Perumusan
masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang yang telah dipaparkan, dapat diambil perumusan masalah
sebagai berikut. Bagaimana pelaksanaan program pengendalian tikus sebagai salah
satu upaya penanggulangan Leptospirosis di Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP) Salatiga ?.
C.
Tujuan
1. Tujuan
Umum
Mengenal
dan mampu untuk melaksanakan latihan kerja serta mampu untuk meningkatkan
pengetahuan, sikap, dan keterampilan kerja, khususnya dalam program
pengendalian tikus sebagai salah satu upaya penanggulangan Leptospirosis di B2P2VRP Salatiga.
2. Tujuan
Khusus
a. Mahasiswa
mampu mengumpulkan informasi yang relevan sehingga dapat memberikan analisis
situasi umum di B2P2VRP Salatiga.
b. Mengetahui
siklus hidup
dan bionomik tikus
c. Mempelajari
pelaksanaan program pengendalian tikus sebagai upaya penanggulangan Leptospirosis.
D.
Manfaat
1.
Bagi B2P2VRP
Salatiga
a. B2P2VRP
Salatiga dapat memanfaatkan tenaga magang sesuai dengan kebutuhan di unit
kerjanya.
b.
Laporan
magang dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber informasi mengenai situasi
umum mengenai institusi tempat magang.
2. Bagi Jurusan Kesehatan Masyarakat
a. Memperoleh
informasi tentang kondisi nyata di dunia kerja yang berguna bagi peningkatan
kualitas lulusan Jurusan Kesehatan Masyarakat.
b. Menjalin
kerja sama dengan institusi magang sehingga dapat mendukung pelaksanaan Tri
Dharma Perguruan Tinggi.
3. Bagi
Mahasiswa
a. Mendapatkan
pengalaman nyata dalam bekerja di institusi yang sesuai dengan spesifikasi
bidang ilmu.
b. Mendapatkan
pengalaman nyata yang terkait dengan program pengendalian tikus sebagai salah
satu upaya penanggulangan Leptospirosis.
c. Mendapatkan
kesempatan mengaplikasikan teori pengendalian pengendalian tikus sebagai salah
satu upaya penanggulangan Leptospirosis di B2P2VRP Salatiga.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Tikus
1.
Toksonomi
Tikus
Toksonomi tikus adalah
sebagai berikut :
Dunia :
Animalia
Filum :
Chordata
Sub Filum :
Vertebrata
Kelas :
Mammalia
Subklas :
Theria
Ordo :
Rodentia
Sub ordo :
Myomorpha
Famili :
Muridae
Sub famili :
Murinae
Genus :
Bandicota, Rattus, dan Mus
Spesies : spesies tikus dapat dilihat pada Tabel
2.1
Tabel 2.1 Spesies Tikus
Bandicota
|
Rattus
|
Mus
|
Bandicota indica
|
Rattus norvegicus
|
Mus musculus
|
Bandicota bengalensis
|
Rattus rattus diardii
|
Mus caroli
|
|
Rattus tiomanicus
|
|
|
Rattus argentiventer
|
|
|
Rattus exulants
|
|
Sumber : Depkes RI,
2008
Ordo Rodentia merupakan ordo yang terbesar dari kelas Mamalia karena memiliki jumlah spesies yang terbanyak yaitu ±2.000 spesies atau 40% dari 5.000 spesies untuk seluruh kelas Mamalia. Spesies tikus yang ada di Indonesia kurang lebih sebanyak 160 spesies dari 2.000 spesies Rodentia dan dari 160 spesies tersebut hanya 9 spesies yang paling berperan sabagai hama tanaman, permukiman dan vektor patogen pada manusia dan dari 9 spesies tersebut hanya empat yang paling berperan sebagai hama penting di daerah permukiman. Keempat spesies itu dapat dilihat pada Gambar 2.1 yaitu Mus musculus, Bandicota bengalensis, Rattus rattus diardii, dan Rattus norvegicus (Depkes RI, 2008).
a.
Mus musculus b.
Bandicota bengalensis
b. Rattus rattus diardii c. Rattus norvegicus
Gambar
2.1 Spesies Tikus di Indonesia
Sumber : Depkes
RI, 2008
Berdasarkan habitatnya, tikus
dapat dibagi menjadi 2 macam yaitu (Priyambodo, 2006):
a.
Tikus yang Bersifat
Terestrial
Tikus
terestrial memiliki ciri-ciri ekor relatif pendek terhadap kepala dan badan,
serta tonjolan pada telapak kaki yang relatif kecil dan halus yang dapat
dilihat pada Gambar 2.2, tikus yang bersifat terestrial antara lain tikus wirok
(Bandicota indica dan Bandicota bengalensis), tikus riul (Rattus norvegicus), tikus sawah (Rattus argentiventer), mencit ladang (Mus caroli).
Tikus
teresterial akan segera menggali tanah jika diberi kesempatan. Penggalian
ini bertujuan untuk membuat sarang yang biasanya tidak melebihi kedalaman 50
cm. R. norvegicus mampu menggali melebihi kedalaman 200 cm pada
tanah-tanah yang gembur. Sistem sarang di dalam tanah sering diperpanjang oleh
tikus dengan membuat lorong-lorong tambahan yang saling berhubungan dengan
beberapa pintu alternatif, terutama bila populasinya meningkat.
b.
Tikus yang
Bersifat Arboreal
Tikus
yang bersifat arboreal memiliki ciri-ciri ekor yang panjang daripada kepala
hingga badannya, serta tonjolan pada telapak kaki yang besar dan kasar yang
dapat dilihat pada Gambar 2.2, tikus yang bersifat arboreal antara lain tikus
pohon (Rattus tiomanicus), tikus
rumah (Rattus rattus diardii), tikus
ladang (Rattus exulans), mencit rumah
(Mus musculus), tikus pohon (Rattus tiomanicus).
Tikus
yang bersifat arboreal mampu memanjat pohon, memanjat permukaan tembok yang
kasar, berjalan pada seutas kawat, dan turun dari suatu ketinggian dengan
kepala menuju ke bawah tanpa mengalami kesulitan. Kemampuan tikus yang bersifat
arboreal dalam memanjat ditunjang oleh adanya tonjolan pada telapak kaki yang
disebut dengan footpad.
Tonjolan tersebut berukuran lebih besar dan permukaannya lebih kasar
dibandingkan dengan tikus teresterial yang kurang pandai memanjat. Footpad masih ditambah dengan cakar yang
berguna untuk memperkuat pegangan, serta ekor sebagai alat keseimbangan pada
saat memanjat.
Gambar 2.2
karakteristik Kaki Tikus Arboreal dan Terestrial
Sumber : Depkes
RI, 2008
2.
Morfologi
Beberapa
ciri morfologi kualitatif dan kuantitatif dari keempat jenis tikus yang menjadi
hama di bidang permukiman menurut Priyambodo (2006) disajikan dalam Tabel 2.2
Tabel 2.2 Perbedaan morfologi R. rattus diardii, B. Bengalensis, R.
Norvegicus, dan M. Musculus
Ciri
|
R. rattus diardii
|
B. bengalensis
|
R. norvegicus
|
M. musculus
|
Tekstur rambut
|
Agak kasar, lebih mengkilap
dari tikus riul
|
Kasar dan panjang
|
Kasar dan agak panjang
|
Lembut dan halus
|
Bentuk hidung
|
Kerucut
|
Kerucut terpotong
|
Kerucut terpotong
|
Kerucut
|
Bentuk badan
|
Silindris
|
Silindris agak membesar ke
belakang
|
Silindris agak membesar ke
belakang
|
Silindris
|
Warna badan dorsal
|
Coklat hitam kelabu
|
Hitam
|
Coklat hitam kelabu
|
Coklat hitam kelabu
|
Warna badan ventral
|
Coklat hitam kelabu
|
Hitam
|
Coklat kelabu (pucat)
|
Coklat hitam kelabu
|
Warna ekor dorsal
|
Coklat gelap
|
Hitam
|
Gelap
|
Coklat gelap
|
Warna ekor ventral
|
Coklat gelap
|
Hitam
|
Gelap agak pucat
|
Coklat gelap
|
Bobot tubuh (gram)
|
60 – 300
|
200 – 600
|
150 – 600
|
8 – 30
|
Panjang ekor(mm)
|
120 – 250 (T > HB)
|
160 – 210 (T < HB)
|
160 – 210 (T < HB)
|
70 – 110
(T > HB)
|
Panjang total (mm)
|
220 – 460
|
360 – 510
|
310 – 460
|
125 – 210
|
Habitat
|
Gudang makanan, pemukiman
manusia terutama di langit – langit
|
Gudang, permukiman manusia,
saluran pembuangan air di perumahan (got)
|
Gudang di kota – kota
pelabuhan, permukiman manusia di kawasan pesisir pantai, dan saluran
pembuangan air di perumahan
|
Gudang, permukiman manusia
|
Sumber: Priyambodo, 2006
3.
Reproduksi
Tikus menurut Priyambodo
(2006) merupakan hewan yang mempunyai kemampuan reproduksi yang sangat tinggi terutama
bila dbandingkan dengan hewan menyusui lainnya hal ini ditunjang oleh beberapa
faktor sebagai berikut:
a.
Matang seksual yang cepat yaitu antara 2-3
bulan.
b.
Masa bunting yang singkat yaitu antara 21-23
hari.
c.
Masa menyusui yang singkat yaitu selama 28 hari.
d.
Terjadi post
partum oestrus yaitu timbulnya
birahi kembali segera (24-48 jam) setelah melahirkan.
e.
Dapat melahirkan anak sepanjang tahun tanpa
mengenal musim yang dikenal sebagai hewan poliestrus, seekor induk tikus selama
setahun mampu melahirkan 3 sampai 6 kali, maksimal 12 kali.
f.
Melahirkan keturunan dalam jumlah yang banyak
yaitu berkisar 6-2 ekor sedangkan untuk mencit, rerata jumlah anak 6 ekor
dengan kisaran 2-12 ekor.
4.
Kemampuan
Tikus
Tikus memiliki
kemampuan-kemampuan khusus untuk mempertahankan hidupnya, kemampuan tersebut
antara lain (BBPADI, 2009):
c. Mencium
Indera penciuman berkembang
sangat baik dengan penciumannya tikus mampu mengenali pakan, sesama tikus, dan
predator. Ketajaman penciuman juga digunakan untuk mendeteksi sekresi genitalia
tikus betina dan jejak pergerakan tikus kelompoknya sehingga tikus mampu
mengetahui batas-batas teritorialnya.
d. Mendengar
Indera pendengaran memiliki
dua puncak tanggap akustik (bimodal cochlear),
yaitu pada selang suara audible
(suara yang dapat didengar manusia pada
rentang frekuensi 20Hz-20KHz) dan pada suara ultrasonik
(tidak dapat didengar manusia pada frekuensi
>20Khz). Suara digunakan oleh tikus sebagai salah satu media komunikasi
antar sesamanya.
e. Menggali
R. norvegicus adalah binatang penggali lubang. Lubang digali untuk tempat
perlindungan dan sarangnya. Kemampuan menggali dapat mencapai 2-3 meter tanpa
kesulitan.
f. Meloncat
dan Melompat
Otot-otot tungkai tikus berkembang sempurna dan relatif
kuat, sehingga mampu menopang mobilitas pergerakannya. R.norvegicus dewasa dapat meloncat 77 cm lebih (vertikal). Tikus
got dari keadaan berhenti dapat melompat sejauh 1,2 meter. M. musculus meloncat arah vertikal setinggi 25 cm.
g. Mengerat
Tikus menggerogoti bahan bangunan/kayu, lembaran
almunium maupun campuran pasir, kapur dan semen yang mutunya rendah. Aktivitas
mengerat merupakan upaya untuk mengurangi laju pertumbuhan gigi seri. Bahan
yang mampu dirusak hingga 5,5 skala kekerasan geologi.
h. Belajar
dan Mengingat
Otak tikus berkembang sempurna sehingga memiliki
kemampuan belajar dan mengingat,
meskipun sangat terbatas dibanding manusia. Tikus mampu mengingat letak sarang, lokasi sumber
pakan dan air, serta pakan beracun yang menyebabkan sakit dan pada percobaan
laboratorium, tikus mampu belajar dan mengingat letak pintu yang menyediakan
pakan.
i. Neophobia
Tikus curiga terhadap setiap benda baru termasuk
pakan di lingkungannya sehingga akan menghindari kontak dengan benda
tersebut.
j. Jera
Umpan
Sifat tikus yang enggan memakan umpan beracun
tanpa didahului pemberian umpan pendahuluan (pre-baiting). Tikus yang mencicipi atau memakan sedikit umpan
beracun akut dan tidak mati tetapi sakit akan mengingatnya sehingga pengumpanan
lanjutan kadang mengalami kegagalan karena umpan tidak dimakan.
5.
Strategi
Pengendalian Tikus
Beberapa cara yang dapat
dilakukan untuk mengendalikan tikus. Secara garis besar pengendalian tikus
dapat dikelompokkan dalam beberapa pendekatan yaitu:
a. Pengendalian
dengan cara kultur teknis
Prinsip
dari pengendalian ini adalah membuat lingkungan yang tidak menguntungkan atau
tidak mendukung bagi kehidupan dan perkembangan populasi tikus. Pengendalian
ini menurut Priyambodo (2006) terdiri dari beberapa cara yaitu:
1) Pengaturan
pola tanam
2) Pengaturan
waktu tanam
3) Pengaturan
jarak tanam
4) Penggunaan
tanaman perangkap (trap crop)
b. Pengendalian
dengan cara sanitasi
Lingkungan yang bersih dan
sehat merupakan senjata paling ampuh untuk memberantas tikus secara alami. Jumlah
tikus sangat bergantung pada banyak tidaknya jumlah makanan dan air serta
tempat persembunyian semakin banyak makanan, semakin bertambah populasi tikus.
Sebaliknya, apabila jumlah makanan berkurang, populasi tikus pun ikut berkurang
dengan cepat (Budiman,2007).
Berikut beberapa cara untuk
menerapkan sanitasi lingkungan
1) Penyimpanan,
pengumpulan, dan pembuangan sampah dengan benar
2) Penyimpanan
bahan makanan dengan baik dan benar
3) Konstruksi
bangunan yang anti – tikus, demikian juga dengan gudang dan tempat penyimpanan
barang
4) Pemusnahan
lubang atau sarang tikus dengan cara menyumbat lubang secara total (Chandra, 2007).
c. Pengendalian
dengan Cara Fisik
Pengendalian cara fisik
merupakan usaha manusia mengubah faktor lingkungan fisik agar dapat menyebabkan
kematian pada tikus. Pengendalian tikus secara fisik terdiri dari beberapa cara
sebagai berikut (Priyambodo,2006):
1) Suara
Ultrasonik
Suara ultrasonik yaitu suara
diatas batas pendengaran manusia dengan frekuensi diatas 20 kHz dapat digunakan untuk mengusir atau mematikan
tikus, suara dengan frekuensi 20 kHz dengan intensitas 98-100 desibel selama
dua menit akan menyebabkan dieresis dan hipertrofi jantung tikus.
2) Gelombang
elektromagnetik
Gelombang elektromagnetik
yang dapat mempengaruhi perilaku tikus telah diteliti oleh para ahli sebagai
pengembangan dari alat penghasil suara ultrasonik. Gelombang elektromagnetik
dapat digunakan untuk mengusir tikus dari suatu tempat. Alat ini menggunakan
sumber energi listrik, gelombang elektromagnetik diharapkan dapat mengusir
tikus atau menyebabkan tikus berhenti untuk makan dan berkembangbiak.
Alat-alat ini dinyatakan
berbahaya bagi semua hama, mulai dari serangga sampai tikus dan mencit, tetapi
tidak berbahaya bagi manusia dan hewan peliharaan karena tingginya kadar Natrium
(Na) yang dikandung oleh hewan-hewan liar (hama) yang membuat hewan tersebut
menjadi lebih rentan (sensitif).
d. Pengendalian
Mekanis
Pengendalian cara mekanis
merupakan usaha manusia untuk mematikan atau memindahkan tikus secara langsung baik
dengan menggunakan tangan atau dengan bantuan alat. Pengendalian cara ini cukup
sederhana sehingga dapat dilakukan oleh semua orang tetapi membutuhkan tenaga
kerja yang relatif banyak. Pengendalian tikus secara mekanis terdiri dari beberapa
cara sebagai berikut (Priyambodo, 2006).
1) Perangkap
Perangkap tikus merupakan
cara pengelolaan yang paling tua, tetapi tidak banyak diteliti oleh para ahli
karena dianggap kurang ilmiah. Perangkap dapat digunakan untuk mengurangi
gangguan oleh tikus, terutama diaplikasikan pada saat populasi tikus rendah.
2) Penghalang
(barrier atau proofing)
Pemasangan penghalang yang
digabungkan dengan sanitasi lingkungan merupakan cara yang paling efektif dan
efisien untuk pengelolaan tikus dalam jangka panjang. Pemasangan penghalang
atau barrier mekanis bertujuan untuk
mencegah tikus memasuki suatu bangunan atau gudang. Pembuatan barier diusahakan
untuk menggunakan bahan-bahan yang tidak dapat ditembus oleh keratin gigi seri
tikus, misalkan seng tebal, alumanium tebal, beton, ram kawat tebal dengan
diameter kurang dari 6 mm.
e. Pengendalian
secara Biotik
Pengendalian
populasi tikus secara biotik dapat dilakukan dengan menggunakan parasit,
patogen dan predator untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan populasi tikus
dari suatu habitat. Pengendalian biotik lebih sulit dilakukan dan kurang
memberikan hasil yang memuaskan. Penggunaan kucing rumah tangga sebagai hewan
predator tikus tidak banyak dilakukan, kenyataannya di kota-kota besar dan
kecil di dunia, populasi tikus tetap tinggi walaupun sudah diintroduksi kucing
rumah namun demikian dibeberapa tempat di pedesaan kucing masih dapat digunakan
untuk mengelola populasi tikus. Predator lain yang telah dicoba sebagai
pemangsa tikus adalah anjing rumah, garangan, musang dan cerpelai. Penggunaan
patogen misalnya cacing Trichinella
spiralis juga dapat digunakan karena dapat menginfeksi otot dan usus halus
tikus (Priyambodo, 2006).
f. Pengendalian
genetik
Pengelolaan
secara genetik dapat dibagi menjadi dua yaitu, pelepasan individu tikus yang
membawa gen perusak, misalnya gen yang dapat menurunkan ketahanan hewan
terhadap suatu penyakit. Kedua adalah pelepasan individu steril atau mandul
pada populasi tikus untuk menurunkan laju reproduksi. Keuntungan dari metode
ini adalah tikus jantan mandul masih bisa berkompetisi dengan tikus jantan
normal (subur) sehingga mampu kawin lebih sering dengan tikus betina. Percobaan
di lapangan menemukan ternyata tikus jantan yang mandul banyak yang mati sebab
tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan alam, tikus jantan yang mandul yang
mampu bertahan hidup kalah berkompetisi dengan tikus jantan normal. Selain itu
usaha untuk mensterilkan tikus jantan dalam jumlah yang besar membutuhkan biaya
yang mahal dan sulit dalam pelaksanaannya (Priyambodo, 2006).
g. Pengendalian
dengan cara kimiawi.
Penggunaan bahan – bahan
kimia yang dapat mematikan atau menggangu aktivitas tikus, baik aktivitas
makan, minum, mencari pasangan maupun reproduksinya. Pengendalian ini dapat
berupa umpan beracun (racun perut), bahan fumigan (racun nafas), repelen,
atraktan (bahan penarik) dan pemandul (kemosterilan) (Priyambodo, 2006).
6.
Metode Penangkapan Tikus
Tikus yang akan diteliti di labolatorium biasanya ditangkap
dengan metode life trap yaitu
menangkap tikus dalam keadaan hidup, perangkap dibuat dari kawat berukuran 21 x
12 x 10 cm dan berumpan kelapa bakar, perangkap dipasang pada sore hari pukul
15.00 dan diambil keesokan harinya pada pukul 06.00, tikus yang tertangkap
dimasukkan kedalam kantong kain ukuran 30 x 40 cm kemudian diberi label yang
berisi tanggal penangkapan, habitat dan kode lokasi (Puslitbang Depkes RI,
2006).
Gambar 2.3
Perangkap Tikus Jenis Life trap
Sumber :
Darmanwansyah, 2008
B. Leptospirosis
1.
Pengertian
Leptospirosis
adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Leptospira (bentuk
spiral) dapat menyerang hewan dan manusia (Depkes, 2005).
2.
Epidemiologi
Angka
kejadian Leptospirosis di negara tropik lebih tinggi dibanding dengan subtropik karena bakteri Leptospira
cocok dengan udara yang hangat, tanah yang lembab dan pH alkalis yang keadaan ini hanya terdapat di negara- negara
tropik. Kejadian Leptospirosis
berhubungan dengan musim
hujan, dengan meningkatnya kasus
dimulai bulan Agustus, dan puncaknya bulan Oktober (Widarso, 2002).
a. Etiologi
Bakteri Leptospira sebagai
penyebab Leptospirosis berbentuk spiral termasuk dalam ordo Spirochaetales
dalam famili Leptospiraceae, genus Leptospira,
serotypes dari Leptospira yang patogen sejumlah lebih dari 170 telah diidentifikasi dan hampir setengahnya
terdapat di Indonesia. Leptospira hanya dapat dilihat dengan mikroskop medan
gelap atau mikroskop phase kontras. Leptospira
peka terhadap asam dan dapat hidup dalam air tawar selama ± 1 bulan, tetapi
dalam air laut, air selokan dan air kemih yang tidak diencerkan akan
cepat mati (Widarso, 2002).
b. Reservoir
Reservoir yang memegang peran utama bagi penyebaran Leptospira
ke manusia adalah hewan pengerat terutama tikus meskipun hewan peliharaan (anjing,
babi, sapi, kuda, kucing, kelinci) dan hewan lain seperti kelelawar, tupai,
musang juga dapat berperan sebagai
reservoir. Beberapa serovar Leptospira
memiliki keterikatan lebih khusus dengan hewan-hewan tertentu seperti L. icterohaemorrhagica dan L. copenha-geni dengan tikus, L. canicola dengan anjing, L. Pomona dengan babi, L. hardjo dengan sapi, L. gryppotyphosa dengan
voles. Leptospira hidup dalam tubulus ginjal selama bertahun-tahun pada
tubuh hewan-hewan tersebut (Levett, 2001).
c. Masa
Inkubasi
Masa inkubasi dari Leptospirosis
4-19 hari, rata-rata 10 hari (Widarso, 2002).
d. Cara
Penularan
Manusia terinfeksi Leptospira
melalui kontak dengan air, tanah (lumpur), tanaman yang telah dikotori oleh air
seni dari hewan - hewan penderita Leptospirosis. Bakteri Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui selaput lendir ( mukosa ) mata, hidung atau kulit yang lecet
dan kadang-kadang melalui saluran cerna
dari makanan yang terkontaminasi oleh urin hewan yang terinfeksi Leptospira (Widarso,
2002).
e. Populasi
yang Beresiko
Pekerja yang beresiko tinggi
terinfeksi Leptospirosis antara lain pekerja irigasi, petani, pekerja
laboratorium, dokter hewan, pekerja pemotongan hewan, petugas survei di hutan, penyakit
ini terutama menyerang laki-laki terkait dengan pekerjaannya namun cenderung
terjadi peningkatan jumlah penderita pada anak-anak di daerah perkotaan (Chin,
2000).
3.
Pengendalian Leptospirosis di Masyarakat
Pengendalian
Leptospirosis terdiri dari pencegahan primer dan pencegahan sekunder.
Pencegahan primer adalah bagaimana agar orang sehat sebagai sasaran dapat
terhindar dari Leptospirosis. Pencegahan sekunder sasarannya adalah orang yang
sudah sakit Leptospirosis dicegah agar orang
tersebut terhindar dari komplikasi yang nantinya akan menyebabkan
kematian. Prinsip kerja dan langkah pencegahan primer adalah mengendalikan
agar tidak terjadi
kontak Leptospira pada
manusia yang meliputi (Wiharyadi, 2004) :
a. Pencegahan
Berhubungan dengan Air atau Tanah yang Terkontaminasi
Pekerja
yang mempunyai risiko tinggi terinfeksi Leptospira
harus memakai pakaian khusus yang dapat melindungi kontak dengan bahan yang
telah terkontaminasi.
b. Melindungi
Sanitasi Air Minum Penduduk
Melindungi
Sanitasi Air Minum dilakukan dengan pengelolaan air minum yang baik, filtrasi
dan dekhlorinasi untuk mencegah invasi Leptospira. pH air sawah diturunkan
menjadi asam dengan pemakaian pupuk / bahan - bahan kimia, sehingga jumlah
dan virulensi Leptospira
berkurang.
c. Pemberian
Vaksinasi
Vaksinasi
diberikan sesuai dengan Leptospira di tempat tersebut sehingga memberikan manfaat cukup
potensial dan aman sebagai pencegahan
bagi pekerja risiko tinggi. Pencegahan dengan serum imun spesifik telah
terbukti melindungi pekerja laboratorium. Vaksinasi terhadap hewan piaraan juga
efektif untuk mencegah
Leptospirosis.
d. Pencegahan
dengan Antibiotik
Pemberian
penisilin 2 juta unit per hari selama 5
hari secara intramuskuler dianggap dapat melindungi orang-orang dianggap telah
terkontaminasi oleh strain Leptospira yang
virulensinya tinggi. Doksisiklin
dapat juga digunakan untuk pencegahan.
e. Pengendalian
Hospes Perantara Leptospira
Rodent
yang diduga paling poten sebagai karier Leptospira adalah tikus sehingga
pemberantasan tikus diperlukan seperti penggunaan racun tikus, pemasangan
jebakan, penggunaan bahan Rodentisida dan penggunaan predator Rodent. Pencegahan agar tikus tidak masuk ke
dalam rumah, sebaiknya dibuat bangunan kedap tikus dan bahan-bahan makanan yang
mudah busuk dibuang.
f. Usaha
Promotif
Pencegahan
Leptospirosis dilakukan dengan cara edukasi,
dimana antara daerah satu dengan daerah
lain mempunyai serovar dan epidemi Leptospirosis yang berbeda. Leptospirosis
merupakan zoonosis klasik pada binatang yang merupakan sumber infeksi utama,
oleh karena itu setiap program edukasi haruslah melibatkan profesi kesehatan
atau kedokteran, dokter hewan dan kelompok lembaga sosial masyarakat yang
terlibat.
BAB
III
METODE
PELAKSANAAN KEGIATAN
A.
Rencana
Kegiatan
No.
|
Kegiatan
|
Waktu
|
|||
Minggu 1
|
Minggu 2
|
Minggu 3
|
Minggu 4
|
||
1.
|
Kunjungan
laboratorium
|
|
|
|
|
2.
|
Pelaksanaan
kegiatan di laboratorium
|
|
|
|
|
3.
|
Pengumpulan data
dan informasi
|
|
|
|
|
4.
|
Penyusunan
laporan sementara
|
|
|
|
|
B.
Lokasi
Kegiatan
Kegiatan
magang akan dilaksanakan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan
Reservoir Penyakit (B2P2VRP) Jl. Hasanudin No. 123, Salatiga.
C.
Waktu
Kegiatan
Kegiatan magang akan
dilaksanakan pada tanggal 16 Juli-11 Agustus 2012.
DAFTAR PUSTAKA
BBPADI. 2009. Tikus
Sawah. http://bbpadi.litbang.deptan.go.id. Diakses pada tanggal 14 April 2012.
Chandra,
B. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: EGC.
Chin, James, 2000,
Control Of Communicable Disease Manual, American Public Health Association
Woshington DC
Darmawansyah. 2008. Rancang
Bangun Perangkap Untuk Pengendalian Tikus Rumah (Rattus rattus diardii linn.)
Pada Habitat Permukiman. IPB, Bandung.
Departemen Kesehatan RI. 2008. Pedoman
Pengendalian Tikus. Jakarta : Direktorat Jenderal Penegnadalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan
Departemen Kesehatan
RI, 2005. Pedoman Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia. Dit.jen. ppm &
PL, Jakarta.
Hadisaputro S., Faktor-faktor Risiko Leptospirosis, Kumpulan Makalah
Simposium Leptospirosis, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2002.
Levett
, Leptospirosis, Clinical Microbiology Reviews, 2001, pp: 296-326.
Priyambodo,
Swastiko. 2006. Hama Pemukiman Indonesia (Pengenalan, Biologi, Pengendalian).
IPB unit kajian pengendalian hama pemukiman fakultas kedokteran hewan. Bogor.
Puslitbang Depkes RI, 2006, Survey Cepat KLB Gempa di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah : Pusat Penelitian dan
Pengembangan Ekologi dan Status Kesehatan
Widarso HS dan Wilfried
P., Kebijaksanaan Departemen Kesehatan
dalam Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia, Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis,
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2002
Wiharyadi D.,
Faktor-faktor Risiko Leptospirosis Berat di Kota Semarang, Tesis, Bagian
/ SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Undip Semarang, 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar